Menjadi Seorang GURU


Waktu saya membongkar foto-foto lama milik Ibu, ada beberapa foto yang memperlihatkan kegiatan pada saat beliau baru masuk IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan; sekarang menjadi UPI-Universitas Pendidikan Indonesia) di Bandung.

Sambil memandangi Foto, Ibu tersenyum, lalu tertawa pada saat membaca nama yang diberikan para senior kepada beliau dan teman-temannya.
Padahal keadaan pada saat itu tidak memungkinkan untuk bisa tersenyum apalagi tertawa.

Perploncoan.. yang belakangan banyak diberitakan memakan korban sakit bahkan meninggal dunia karena kelelahan fisik dan mental.

"Waktu itu 'mah' ngga ada hukuman fisik yang berlebihan, ga ada tonjok-tojokan...", Ibu memperlihatkan fotonya sambil bercerita.
"Waktu itu pernah kesiangan.. kan dari rumah naek sepedah tuh (7 kilo lho... bike to school ternyata lebih efektif jaman dulu ya...). 500 meter lagi tiba ke aula tempat kumpul para mahasiswa baru, lonceng tanda masuk berbunyi... Mamah ama teman-teman yang telat otomatis (harus) berjalan mundur, ngga boleh tungak-tengok.. jadi tabrak sana sini...." Lalu Ibu tertawa..

Pembinaan mental para calon guru dilatih pada saat MAPRAM (perkembangannya menjadi perploncoan, opspek, orientasi siswa). Dari satu contoh kasus terlambat, kita dilatih untuk selalu tepat waktu dalam memulai kegiatan.

"Memanggil para senior harus menggunakan 'Akang' dan 'Teteh' supaya kita menghormati yang lebih tua".
Namun bukan berarti lahir lebih dulu menjadikan kita 'lebih' segala-galanya dari mereka yang lahir setelah kita.
Menghormati senior adalah karena pengalaman yang telah mereka lalui, namun bukan berarti sebagai senior menghalangi kesempatan buat para junior yang ingin (dan mamapu) untuk maju. Sebetulnya adalah, kemajuan senior dihasilkan bila mereka mau sedikit terbuka dengan pembaruan yang dibawa oleh para junior. Sementara keberhasilan junior adalah juga berkat dukungan para senior.


Kegiatan MAPRAM disertai dengan kegiatan MENWA (Resimen Mahasiswa) selama setahun penuh (hari-hari tertentu). Dalam MENWA para calon guru ditempa fisik dan mental. Latihan semi-militer (bahkan sama dengan latihan militer) membuat para calon guru ditempa dalam hal kedisplinan, menjadi calon guru yang tidak 'cengeng', berjuang dalam memajukan siswanya serta bermental baja dengan tidak mudah menyerah dalam menghadapi tantangan.

"Jaman Mamah mah dari mulai SMA yang mau jadi guru udah dijuruskan ke Sekolah Guru (kalau jaman saya masih ada SPG yang bisa langsung disalurkan menjadi guru SD), lalu kalau mau jadi guru SMP masuk PGSLP setelah lulus Sekolah Guru tadi. Kalau diteruskan masuk IKIP lebih baik lagi".

Jadi, niat seseorang untuk menjadi seorang guru sudah ditentukan pada saat mereka lulus sekolah menengah pertama. Kadang-kadang kita bilang bahwa sesuatu itu bisa kita lihat hasilnya tergantung niat kita. Niat baik, hasilnya akan baik, sebaliknya niat buruk, hasilnya akan dipastikan kurang baik pula.
Makanya, ngga heran deh kalau niat dan cita-cita menjadi seorang guru merupakan hal yang kurang populer di masa sekarang. Mungkin saja penyebabnya adalah hilangnya sekolah-sekolah keguruan, apalagi nasib guru sekarang selalu 'tidak jelas'.

Pendidan "moral" menjadi seorang guru sangat ditekankan. GURU adalah teladan bagi murid-muridnya. Sisi negatifnya barangkali guru selalu merasa yang paling benar dan "anti" terhadap pendapat dan masukan yang berbeda dari muridnya.

Menjadi Guru yang terpenting adalah bagaimana kita mengelola ilmu yang kita peroleh, kita kemas dalam kemasan yang menarik sehingga siswa lebih mudah menyerap dan menerapkannya di kehidupan sehari-hari.

Guru juga perlu menyadari bahwa mereka adalah teladan dan panutan bagi murid-muridnya sehingga selalu ingat jika akan melakukan sesuatu.

Guru juga sebaiknya bersikap terbuka terhadap perubahan, menerima setiap kritik dan saran yang baik dari pihak manapun, termasuk yang menjadi murid kita.

Tinggal sekarang berdoa.. semoga kita sebagai seorang guru sanggup menerima dan mengemban tanggung jawab yang besar dalam MENDIDIK generasi bangsa.
SEMANGAT!!


Comments

Popular Posts