Chapter 8 - Candi Singosari Sebelum Pulang
![]() |
Saya, makTarie dan Naya. |
Tak terasa, ini adalah hari terakhir kami di Malang. Pagi itu, saya menerima pesan WhatsApp dari agen perjalanan yang menanyakan kepastian keberangkatan sore nanti dari titik penjemputan di Lawang. Seketika, mata saya berkaca-kaca. “Kapan saya bisa kembali ke sini lagi?” bisik saya dalam hati, mencoba menghibur diri sendiri.
Sebelum pulang, kami
ingin kembali menikmati krengsengan daging dari Warung Asih, kali ini demi Mak
Tarie yang belum sempat mencicipinya. Kawan saya menyetujui dengan senang hati.
Selain itu, kaus yang dua hari lalu kami pesan akhirnya selesai dan kami kenakan
hari ini. Warnanya hijau segar seperti alpukat, dengan lengan abu-abu. Yang
paling menarik tentu saja desain gambarnya: milik saya bergambar benang dan
jarum rajut, sedangkan milik Naya bergambar cupcake. Sungguh menggambarkan kami
masing-masing.


Kemarin, Fariz—anak bungsu kawan saya—mengusulkan untuk mengunjungi salah satu situs sejarah di sekitar Lawang: Candi Singosari. Candi ini dipercaya dibangun oleh Mahapatih Gajah Mada sebagai bentuk penghormatan kepada Raja Kertanegara, yang wafat beberapa tahun sebelumnya. Bangunan candi masih berdiri utuh, namun patung-patung yang seharusnya berada di dalamnya kini tersimpan di museum-museum Belanda dan Inggris. Di sepanjang jalan masuk menuju candi, tampak deretan arca tanpa kepala—simbol pilu tentang penjarahan dan ketidakpahaman bangsa ini tentang benda Sejarah.
Namun hari itu, kami
hanya ingin mengabadikan kenangan. Berdiri di antara reruntuhan sejarah yang
menjadi bagian dari perjalanan bangsa ini memberi rasa syukur dan haru. Pagi
yang cerah di jam 9 memberikan pencahayaan sempurna. Hasil foto kami pun sangat
indah.
Dari sana, kami lanjut menuju toko oleh-oleh. Aneka penganan khas seperti keripik tempe, keripik menjes, dan keripik apel langsung masuk ke dalam kardus besar. Masih ada satu lagi yang ingin dibawa Mak Tarie ke Bogor: alpukat! Di sini, alpukat terkenal dengan kualitasnya yang baik. Maka, kami pun meluncur ke pasar Lawang.
Bau khas pasar langsung menyambut kami saat masuk. Saya terpikat oleh warna-warni sayuran segar yang berderet rapi di lapak-lapak. Ada satu hal menarik yang akhirnya saya beli: tempe! Tempe Malang terkenal dengan teksturnya yang padat dan bulir kedelainya yang rapat. Namun, tempe yang saya beli kali ini adalah versi mentah—masih dalam proses fermentasi dan akan jadi tempe sempurna dalam satu atau dua hari. Harganya sangat terjangkau: Rp10.000 untuk tiga bungkus. Saya bahkan membeli satu bungkus tempe yang terbuat dari kacang tanah. setelah matang dan diolah ternyata rasanya mirip oncom hitam.
Akhirnya, alpukat yang
dicari pun didapat. Mak Tarie bahkan sudah menyiapkan ruang khusus di kopernya
untuk buah ini.
Jadwal kepulangan kami
adalah pukul 15.20. Setelah makan siang dan merapikan barang bawaan, sekitar
pukul 14.30 kami tiba di agen perjalanan tempat kami akan naik bus Agra Mas
jenis sleeper yang telah kami pesan.
Dengan hati yang
berat, saya melangkah naik ke bus. Lalu saya buka kotak berisi sosis solo serta tahu sutra goreng yang sengaja disiapkan Naya untuk menemani kepulangan kami. Seperti biasa, kelezatan penganan buatannya langsung memenuhi mulut menunda lapar yang sejak tadi datang. Rasa syukur, rindu, dan harapan berbaur
menjadi satu. Perjalanan pulang bukanlah akhir, tapi penanda bahwa suatu saat
nanti, saya akan kembali.


Comments