Reuni (sebuah fiksi refleksi).

Fay berdiri mematung di depan kaca. Melihat pipinya yang gembil, di ujung matanya sudah tampak kerut halus, rambutnya kini kusam dengan serpihan putih disana-sini. Perasaan menyesal lalu menyeruak, kenapa ia tidak bisa merawat tubuhnya. Tidak pernah ke salon selain untuk potong rambut, tidak pernah ke gym, dan ia tidak pernah berhadapan dengan cermin selama ini untuk menyadari semua kekurangannya.
Ditangannya undangan reuni SMA. 2 minggu lagi, menunggu konfirmasi apakah ia akan hadir atau tidak. Kali ini untuk kesekian kalinya Fay siap menolak undangan Reuni yang diterimanya.

Hati Fay diliputi keraguan. Apa kata teman-temannya nanti bila tahu Fay yang dulu salah satu cewek populer di sekolah ternyata hanya menjadi Ibu rumah tangga yang bersuamikan seorang guru? Fay lalu membuka lemari di belakang cermin yang menatapnya sejak tadi. Mencari kemeja berwarna putih yang dibelikan suaminya beberapa tahun lalu.
Uff.. bau apek seketika menyeruak ketika Fay menarik kemeja putihnya yang kini berwarna putih tua. Ada dress code untuk memakai kemeja putih seperti masa SMA dulu. Ia tatap lama bajunya. Betapa malunya bila teman-temannya mengenakan pakaian model terbaru sementara ia hanya mengenakan pakaian tua yang telah berkali-kali ia pakai.

Sedang Fay mematut dirinya di cermin, telepon berdering;
“Hallo”
“Hai Fay, ini gue, Anita.. undangan reuni udah nyampe belom?”, Anita berkata renyah diujung telepon, tetap ceria seperti dulu.
“Udah Nit,” Fay menjawab perlahan sambil menghela nafas panjang.
“Mau dateng, ya?”, Anita ingin memastikan kedatangan Fay.
“Mmm.. mungkin, Nit,” Fay tidak berani berjanji.
“Lhooo…. Kenapaaaa?? Tadinya aku mau ngajak pergi bareng,” perasaan menyesal terdengar jelas dalam suara Anita.
“Ada acara lain, Nit, tapi nanti aku kabarin deh kalo mau dateng..” Fay terpaksa berbohong dan mencoba mengakhiri percakapannya dengan Anita.
“Bener lo, yaa.. aku tunggu kabar dari kamu, bye” Anita lalu menutup teleponnya.

Perlahan Fay meletakkan gagang telepon di tempatnya semula. Ia kembali membaca undangan yang masih tergenggam di tangannya. Hatinya galau antara keinginan untuk bertemu teman-temannya dulu dan keengganannya atas perasaan kurang yang ia miliki.
Fay lalu memperhatikan Fadhil anak bungsunya yang asyik bermain dengan mainannya. Kedua kakaknya masih bersekolah pada jam segini. Semalam Fay sudah minta pendapat Faishal, suaminya tentang keraguannya datang ke reuni;
“Kenapa ga mau ketemu teman lama? Kamu malu dengan keadaan kamu sekarang?” Faishal selalu bisa membaca pikiran Fay. Fay Cuma diam.
“Bukan begituu..,” Fay berusaha menyangkal, Fay tidak mau membuat Faishal sakit hati.
“Udah lah Fay.. apa yang takutkan adalah sekedar casing, kulit luar aja. Fay yang aku kenal tidak setakut ini ketemu teman. Tapi semua keputusan ada di kamu, kok. Kalau kamu merasa kurang nyaman, yaaa… ga usah datang..” Faishal berkata
bijak. Fay bersyukur punya suami pengertian seperti Faishal. Terima kasih Tuhan..

Wib memandangi undangan reuni SMA di layar komputernya. Bukan tidak kangen pada teman-temannya dulu, tapi ketakutannya untuk mampu berhadapan dengan seseorang dari masa lalu yang menahannya untuk segera mengkonfirmasi kehadirannya.
Yup, seseorang yang Wib anggap sempurna. Secara fisik dia cantik, mudah bergaul, enak diajak bicara, easy going.. yang pasti semua yang dimiliki perempuan ini, Wib suka. Seperti apa dia sekarang? Sejak dulu Wib hanya berani memendam perasaannya. Perempuan ini selalu baik padanya, membuat Wib tak bisa berpaling pada perempuan manapun. Namun untuk menyatakan perasaannya secara langsung Wib tidak berani.
HP nya berbunyi:
“Wib speaking..”
“Wib.. gue nih.. Anita..” suara renyah di ujung sana.
“Yo, Nit.. apa khabar?”, Wib menjawab telepon Anita sambil mengingat cewek centil berbuntut kuda teman sekelasnya dulu.
“Baek..baek.. e-mail ku udah nyampe Wib?” Anita ingin memastikan undangan yang dikirimkannya sampai ke computer Wib.
“Udah, Nit, ini lagi aku buka,” Wib menjawab.
“Good.. gmana? Dateng kan?” Anita kembali bersuara ceria.
“Gimana ya…,” Wib terdengar ragu.
“Jangan gitu dong Wib..,” Anita tampaknya merasakan gelagat keengganan Wib.
“Gini aja deh.. aku ga janji dateng, tapi aku kirim donasi lewat rekening alumni, ya..,” Wib berharap Anita cukup terhibur dengan donasi yang akan ia kirimkan.
“Thanks, Wib, tapi gue tetep pengen lo dateng, biar rame,” Anita keukeuh.
“Gue usahain y, Nit,” Wib menenangkan Anita yang kebetulan jadi panitia reuni kali ini.
“Ok deh.. thanks y, Wib,” Anita mengakhiri percakapannya.
“Ok sama-sama,” Wib menekan tombol ‘end’.

“Guys.. tinggal 2 minggu lagi!” wajah Bayu sang ketua panitia reuni tampak tegang.
“Easy, pak.. sampai sejauh ini kita masih ‘aman’,” Anita berusaha menenangkan.
“Dana gimana?” Bayu bertanya.
“Kita udah dapat setengahnya dari rencana anggaran semula. Terakhir hari ini gue dapet donasi dari Wib sejuta,” Anita menyampaikan laporannya.
“Aduh..,” Bayu tampak cemas.
“Tapi Bay, dari catetan aku, akan terkumpul dana lebih banyak lagi minggu ini. Beberapa orang confirm akan kasih lebih,” Anita menenangkan.
“Acara gimana?” Bayu memeriksa bagian acara.
“Sampai saat ini belum ada perubahan sesuai format minggu lalu. MC sudah kita tetapkan mewakili tiap jurusan. Undangan untuk guru juga udah disampaikan, mereka udah konfirmasi hadir, 20 orang,” Tatty kini mendapat giliran memberi laporan.
“Bagian cendera mata?” Bayu tak ingin ada yang ketinggalan.
“Siap, sesuai jumlah yang kita perkirakan sudah naik
“Publikasi, dokumentasi?”
“Undangan 80% tersebar, 3 spanduk siap dipasang di tempat strategis minggu depan. Dokumentasi siap dengan Video capture ditambah 2 photographer,” yang ini bagian Arya.
“Yang terakhir, tempat acara sama catering?”
“Siap, sesuai dengan rencana minggu lalu” jawaban singkat Arini rupanya cukup membuat Bayu bernafas lega.
“Oke, segala persiapan keliatannya udah cukup matang. Kita ketemuan lagi minggu depan untuk membicarakan perkembangan terakhir, gimana?” Bayu selalu tegas dalam mempersiapkan segalanya dan kali ini pun ajakan Bayu disambut dengan anggukan kepala seluruh panitia.

“Ayo, Fay, kita udah nyampe,” seruan Anita membuyarkan lamunan Fay. Di hadapannya kini tampak tempat yang akan dipakai untuk acara reuni hari ini.
Fay berusaha memantapkan kakinya yang ingin segera pergi meninggalkan tempat itu, terlihat dari gerakannya yang sedikit canggung.
“Ayo..,” Anita kembali mengajak Fay sedikit tidak sabar.
“Iya Nit, bentar, sepatuku lepas,” Fay beralasan.
Anita lalu dengan cepat menghilang meninggalkan Fay berdiri kikuk. Tapi keadaan itu tak lama berlangsung;
“Fay?!” seseorang dari sebelah Fay tiba-tiba menyapa. Fay menyipitkan matanya memandang seorang wanita matang yang cantik terawat dengan asoseris apik disesuaikan dengan busana yang ia kenakan.
“Diana?!” Fay tak kalah kagetnya dan merasa senang teman sebangkunya dulu dapat hadir di tempat ini.
“Kemana aja selama ini, Fay? Kamu bak ditelan bumi!” Diana tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
Selebihnya percakapan berlanjut seputar kehidupan mereka berdua. Diana sukses dalam karier, namun dalam berkeluarga rupanya dia kurang beruntung. Setelah 10 tahun menikah belum juga dikaruniai anak. Di mata Diana terbersit kerinduan yang mendalam saat Fay memperlihatkan foto ketiga anaknya.
“Kamu sangat beruntung, Fay,” itu ucapan Diana yang sangat berarti diterima oleh Fay.

Acara berlangsung dengan sukses. Semua orang yang hadir saat itu merasakan kebahagiaan bertemu dengan teman lama dan guru-guru yang mengajar mereka dulu. Sebagian sudah pensiun, namun sebagian besar masih mengajar dan berkesempatan hadir. Fay bersyukur mengikuti saran Faishal untuk memberanikan diri datang. Fay senang bertemu kembali dengan teman-temannya. Secara fisik jelas mereka berubah, tak jauh seperti dirinya, dilihat dari kendaraan yang memenuhi tempat parkir, mereka sukses dalam karier dan pekerjaannya. Fay bahagia, ia bahagia untuk kesuksesan teman-temannya. Saat itu ia tidak perduli dengan dandanannya yang seadanya atau baju putih lusuhnya yang ia usahakan tampak baru dengan memberinya pemutih dan pewangi pakaian. Bahkan ledekan teman-temannya yang melihat tubuh gemuk Fay sekarang, dapat ia balas dengan mudah. Fay bisa tertawa lepas, sejenak melupakan semua persoalan yang membelenggunya sehari-hari, Fay bahagia…

Di seberang jalan, di sebuah mobil mewah, Wib memperhatikan jalannya acara. Ia melihat Fay, perempuan pujaannya datang bersama Anita dengan langkah yang sedikit canggung. Tubuhnya mungkin tidak sama seperti dulu, namun pancaran kematangan tampak jelas di raut wajahnya. Wib memperhatikan setiap gerakan yang dibuat Fay, cara berjalannya, cara bicaranya, tertawanya.. membuat Wib rindu dan ingin melompat kehadapannya. Wib membuka pintu mobilnya, namun kembali menutupnya. Rasanya ia tak sanggup untuk berdiri berhadapan langsung dengan Fay. Walau 18 tahun telah lewat, ternyata Wib masih belum sanggup bertatapan langsung dengan Fay, membayangkannya saja membuat Wib gelisah. Wib menyalakan mesin mobilnya, lama ia menimbang sambil tetap memperhatikan Fay, satu-satunya perempuan yang menarik di pesta reuni itu. Lalu perlahan Wib jalankan mobilnya, ia tinggalkan Fay, ia tinggalkan kenangannya. Mantap kakinya menginjak pedal gas, teringat janjinya pada Rasya, anaknya, untuk mengajaknya berenang hari ini.

Comments

Popular Posts