Menyambut Generasi Alpha

IPS Squad Spensa
Matahari belumlah tinggi. Kamis ini, tanggal 29 Agustus 2019, MGMP IPS (Musyawarah Guru Mata Pelajaran IPS) Kota Bogor akan mengadakan kegiatan sharing session dan diskusi di Perkebunan Teh Gunung Mas, Puncak-Bogor. Dari sekolah kami berlima mengenakan t-shirt yang sama sebagai identitas dan satu kesatuan. Jam menunjukkan pukul 06.15 saat kami beranjak dari sekolah.

Agak berbeda dengan biasanya, kegiatan MGMP memilih tempat wisata yang agak jauh. Selain niat untuk mencari suasana lain untuk mencegah bosan, kegiatan outing ini diharapkan dapat lebih mendekatkan sesama anggota. Udara yang masih segar dan jauh dari kebisingan kota diharapkan juga dapat lebih membuka pandangan pada saat diskusi.

Jalan menuju Puncak masih lengang. Beberapa kali kami berpapasan dengan anak-anak yang bergegas pergi ke sekolah. Geliat kegiatan dagang di pasar dan pertokoan di sepanjang jalanpun mulai tampak. Bahasan dalam kendaraan berkisar pada keadaan puncak yang semakin ramai sampai membahas kampung Arab yang ada disana. Rasanya kami bahagia benar bisa menghabiskan waktu bersama, lepas sejenak dari rutinitas sehari-hari yang semakin hari terasa semakin membelenggu. Mudah-mudahan bahasanya tidak terlalu berlebihan. :)

Tepat pukul 07.15 WIB kami sampai di gerbang Perkebunan Teh Gunung Mas. Sudah tampak pak Lukito, sang Ketua MGMP menyambut kedatangan kami. Berbincang sejenak dengan beliau, lalu perjalanan kami lanjutkan menuju aula tempat pertemuan di dalam kawasan kebun teh. Agak tersesat sedikit karena salah jalan, namun karena kami tidak pernah malu bertanya, akhirnya sampai juga kami ke tempat pertemuan yang berdekatan dengan kolam renang anak-anak dan musholla.

Persiapan tea-walk.
Ternyata acara kami berbarengan dengan wisata anak-anak PAUD yang  mulai tampak berkumpul tak jauh dari tempat pertemuan kami. Jadilah saat turun dari kendaraan, kami disambut dengan lagu anak-anak yang ceria pengiring senam pagi. Semangat kami langsung bangkit dan siap untuk beraktifitas hari itu. Banyak yang sudah hadir. Kami ikut membantu mengangkut konsumsi yang disediakan untuk 33 orang guru IPS SMP se-Kota Bogor yang rencananya hadir hari itu. Jumlah ini hanya sekitar seperlima dari keseluruhan jumlah guru IPS SMP Kota Bogor. Ketidakhadiran rekan-rekan lain dengan berbagai alasan, ada yang tidak mendapat izin, yang jam mengajarnya penuh, alasan kesehatan dll.

Matahari semakin beranjak. Di ketinggian 800-1200 ini matahari kelihatan lebih galak memancarkan sinarnya. Kegiatan lalu dibuka dengan doa untuk kesehatan seluruh anggota terutama mendoakan beliau-beliau yang sedang dalam keadaan sakit. Setelah membuka acara dan berdoa, kegiatan tea-walk pun dimulai.

Hamparan kebun teh Gunung Mas
Dipandu pak Herman dari pihak Gunung Mas, kami diberi pilihan jarak tempuh. 2 km, 5 km, atau lebih. Mengukur kemampuan rata-rata anggota diputuskan untuk mengambil jarak 2 km. Kelompok kami mulai berjalan dengan riang sambil tak henti mengambil gambar. Perjalanan jadi tidak terasa capai karena setiap ada tempat yang bagus untuk diambil gambarnya kami akan berhenti lalu berfoto. Jangan tanya berapa banyak sudah yang berswafoto. Ibu Nuning selaku pengurus yang menggagas kegiatan ini melakukan investigasi kecil-kecilan. Beliau berjalan dari kelompok paling depan hingga paling belakang. Ternyata topik pembicaraan tentang hal yang berbeda-beda. Mulai dari keadaan rumah tangga sehari-hari untuk mewujudkan keluarga samawa hingga pembicaraan politik tentang dampak pemindahan ibukota. Luar biasa sekali, kan?!

Di titik paling atas perkebunan yang menjadi tujuan kami, pak Herman menjelaskan mengenai daun teh sebagai cikal bakal minuman yang biasa kita nikmati. Jenis teh hitam dan merah diambil dari pucuk teh yang paling muda, sementara teh putih atau white tea berasal dari daun teh di pucuk tertinggi yang masih menutup atau kuncup. itulah sebabnya kenapa teh putih harganya sangat mahal karena selain jumlahnya yang sedikit serta perlu teknik khusus dalam pemetikannya, khasiat teh putih sangat baik untuk kesehatan. Teh putih tidak akan menyebabkan gangguan terhadap lambung seperti yang biasa terjadi bila kita mengkonsumsi teh hitam atau merah.
Pucuk teh cikal bakal teh hitam dan merah.
Teh puntih dari pucuk daun yang masih kuncup.
Bertambah lagi ilmu tentang teh yang bisa dinikmati di segala suasana. Kami terus berjalan. Sayup-sayup terdengar musik yang lebih meriah dari irama senam pagi PAUD. Batin bertanya meriah benar musiknya menghentak dan biduannya begitu merdu bernyanyi. Rupanya aula pertemuan kami tempat asal suara tadi. Peserta yang tertinggal tea walk menunggu sambil bernyanyi. Akhirnya sambil beristirahat, satu persatu rekan-rekan guru menyumbangkan suara merdunya. Mulai lagu Panbers, Koes Plus hingga Rita Sugiarto!

Jam sudah menunjukkan pukul 10.00. Waktunya bersiap untuk berbicara tentang hal-hal yang menjadi kegalauan dalam mendidik serta hal-hal positif yang berlu dibagi. Dibuka oleh Pak Lukito dan Pak kemal sebagai pengurus MGMP, pembicaraan pertama mengenai wacana zonasi guru yang sedang menjadi pembicaraan setelah zonasi siswa. Guru yang jarak rumah dengan sekolahnya lebih dari 12km akan terkena dampak kebijakan ini. Mengingat keadaan geografis kota Bogor yang cenderung kecil, keadaan ini tidak akan terlalu berpengaruh terhadap pemindahan guru secara besar-besaran kecuali apabila mutasi yang paling lama 4 tahun guru mengajar di satu sekolah diberlakukan.
sharing session dan diskusi
Zonasi yang lain adalah tentang MGMP per wilayah sekolah yang dilakukan di hari Sabtu atau Minggu dengan sistem in-on. Hal ini bukan barang baru mengingat dulu pernah berlaku kegiatan MGMP berdasarkan gugus yang juga per wilayah. MGMP wilayah ini muncul pada saat beberapa rekan guru diundang Bimtek ke beberapa daerah (terakhir pak Rudie ke Makassar) untuk mensosialisikan kegiatan tersebut.

Namun yang lebih menarik perhatian saya adalah ketika muncul diskusi tentang permasalahan mendidik yang ada saat ini. Generasi yang kita hadapi adalah generasi 4.0. Generasi dimana teknologi sudah menjangkau ke segala aspek kehidupannya. Keadaan ini bisa disikapi dengan pendampingan saat memakai teknologi dalam pembelajaran serta pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran. Tayangan presentasi yang menarik disertai dengan gambar atau film yang berhubungan dengan materi bisa jadi sesuatu yang menarik buat anak didik pada saat sekarang ini (pak Trisno).
Lalu muncul keresahan lain tentang keadaan pendidikan Indonesia yang lebih mendasar lagi. Bu Nuning menyatakan tentang zonasi dan kenyataan yang dihadapi dunia pendidikan sehari-hari.

Pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan begitu gencar menyuarakan zonasi. Namun pada saat mempertemukan guru-guru saat pelatihan yang berasal dari zonasi yang berbeda-beda atau dengan mengirimkan para guru ini pelatihan ke daerah yang jauh diluar zona propinsi, misalnya, justru mengundang pertanyaan, "zonasi yang mana?" atau mungkin "zonasinya mana?"

Sejak dulu Indonesia memiliki keragaman budaya dan adat istiadat yang kemudian dipersatukan dengan Bhinekka Tunggal Ika, walau berbeda tetap satu. Jadi, selama tujuan kita satu untuk memajukan pendidikan di ndonesia, tak perduli dari sisi mana di Indonesia, akan selalu  menuju ke titik yang sama. Jadi apakah penting sebuah zona yang sama untuk mencapai tujuan? Atau keberagaman justru akan menjadi kekayaan dalam mencapai tujuan tadi? Kita masih harus menunggu soal ini.

Berikutnya yang dibahas mengenai keadaan anak didik lulusan SD yang baru saja memasuki SMP. Sebagai sekolah yang berada di tengah pemukiman padat, SMP beliau mendapat murid dengan nilai USBN tertinggi ketiga di Bogor. Angka terkecil di 26 yang berarti rata-rata nilai 8.8. Namun kenyataan di lapangan ketika diadakan test kemampuan dasar, angka tersebut sangat jauh dari yang diharapkan. Lebih miris masih ada anak didik yang belum mandiri, masih harus ditunggui orangtua dan yang lebih mengkhawatirkan adalah ada anak didik yang belum bisa membaca. Inilah potret
sesungguhnya pendidikan di Indonesia yang belum terekam di ranah para pembuat kebijakan yang bergumul dengan teori.

Keadaan ini tentu harus dihadapi guru di garis terdepan yang langsung berhadapan dengan anak didik. Dalam mendidik kita perlu bersinergi dengan semua pihak. Bekerja sama dengan semua guru mapel dalam menghadapi anak didik. Guru Agama sebagai pembina karakter rohani, guru Pkn yang  menanamkan karakter kebangsaan dan guru BK sebagai penasihat yang tak bosan berbagi kebaikan. Mungkin itu gambaran sinergi guru yang lebih khusus dapat menanamkan karakter baik pada anak didik selain seluruh guru yang mendidik bukan sekedar mengajar. Walikelas punya peran penting dalam mengenalkan anak pada dunia sekolah dan menjembatani hubungan sekolah dengan orangtua. Pemahaman orangtua akan arti mendidik tidak akan menyebabkan aksi pelaporan dan kriminilisasi guru.

Saya akhirnya ikut meramaikan diskusi ini. Menghadapi generasi 4.0 menurut saya tidak perlu disikapi dengan  'mengenalkan' teknologi kepada anak. Bahkan tanpa dikenalkan, anak didik masa sekarang ini sangat piawai menggunakan gawai mereka. Lebih baik mengedepankan pendampingan dan pemberian informasi pemanfaatan gawai dan internet sehat. Atau kita dapat menjauhkan mereka dari gawai pada saat di sekolah. Dalam pembelajaran kita bisa memasukkan nilai karakter melalui teknik-teknik pembelajaran yang kaya akan kerjasama, saling menghargai dan usaha yang pantang menyerah. Media pembelajaran jangan terpaku dengan gawai melainkan kembali ke media cetak atau permainan yang merangsang anak untuk bergerak lebih aktif. Penanaman nilai karakter bisa dimulai dari hal kecil misalnya dengan pembiasaan berdoa sebelum pembelajaran dan membiasakan 5S (sapa, salam, senyum, sopan dan santun). Guru dimungkinkan untuk tidak akan memulai pembelajaran sebelum anak berdoa dan memberi salam yang telah disepakati sebelumnya.

Bu Rika menyambung dengan sekolah ramah anak. Pada sekolah ramah anak dimungkinkan bahkan seorang guru memberi salam terlebih dahulu kepada anak padas saat masuk ke dalam kelas. Namun ada dampak yang kurang baik ketika anak berani berlaku yang cenderung kurang ajar terhadap guru.
Ditambahkan oleh Pa Rudi, ramah anak tidak sama dengan memanjakan anak. Perilaku tegas guru dalam mendidik di dalam kelas mutlak perlu. Guru juga harus menunjukkan bahwa ia menguasai ilmu yang diajarkannya. Bahkan Guru harus terus berupaya agar sisi keilmuannya terus bertambah sehingga dapat lebih dihargai oleh anak.

Mengenai karakter ini dijelaskan oleh pak Harris dari PGRI bahwa menanamkan karakter anak harus juga bersinergi dengan orangtua. Setiap walikelas di sekolahnya wajib mengadakan kunjungan ke rumah anak perwaliannya untuk bertemu dengan orangtuanya. Hal ini selain mendekatkan pihak sekolah dengan orangtua, guru (walikelas) dapat lebih mengenal karakter anak melalui orangtuanya.

Kesimpulan saya mengenai mendidik generasi 4.0 adalah, Guru boleh menjadi sahabat anak di luar kelas, namun pada saat di dalam kelas, anak harus  mematuhi kontrak belajar yang telah disepakati sebelumnya. Jika ada kesalahan, anak harus menerima konsekuensi yang juga telah disepakati. Dengan ini anak diajarkan untuk bertanggungjawab dan konsisten mempertahankan perilaku yang baik selama di dalam kelas. Guru juga bisa memberikan reward atas perilaku baik anak selama di dalam kelas sebagai bentuk penguatan. Sinergi yang baik dengan seluruh guru dan pihak orangtua dalam mendidik anak adalah mutlak perlu.

Begitu serunya diskusi tentang cara mendidik anak ini sehingga tak terasa sudah masuk waktu Dzuhur. Kami istirahat makan siang dan sholat setelah disepati sebelumnya bahwa sharing session dan diskusi mengenai hal-hal yang dihadapi dalam menjalankan profesi sebagai guru jauh lebih penting  untuk dibicarakan untuk mendidik generasi yang lebih baik.

Ramah tamah berlanjut dengan kembali menikmati suara-suara merdu guru-guru IPS yang luar biasa ini. Setelah dirasa cukup acara lalu kembali ditutup dengan doa. Puas rasanya hari ini seluruh kebutuhan aktifitas fisik dan mental terpenuhi. tak sabar rasanya untuk menyambut kegiatan MGMP IPS berikutnya.
sampai jumpa!

Comments

Popular Posts