Bogor Berlari, Saya Berjalan Saja.


Kenalkan; TAGLINE Kota Bogor 2020, BOGOR BERLARI. Senang rasanya melihat walikota kami yang bugar dan terus berlari dengan semangat tinggi untuk melayani warganya. Menyusuri sudut-sudut kota Bogor yang indah serta nyaman dan tertata rapi, pedestrian yang lebar, bersih, membuat lelarian pak Wali tak terhalang oleh apapun. Apalagi ketika di akhir tayangan tampak beliau mengajak serta jajaran terdekatnya, Wakil Walikota dan para pejabat kota Bogor yang ikut semangat berlari mendampingi beliau. Semua tersenyum, semua semangat dan berupaya keras untuk berlari sejajar dengan beliau.

Buat saya yang bukan walikota, bukan pula pejabat tidak akan ikut berlari. Saya memilih berjalan kaki saja. Seperti ketika saya lebih memilih naik sepeda daripada naik motor. Mengurangi emisi? bisa saja. Tapi bukan sekedar tindakan mulia berupa mengurangi emisi itu maksud saya berjalan kaki. Ngirit ongkos? bisa jadi, karena setiap berjalan saya menghemat 1x perjalanan dengan angkot atau setara dengan Rp. 3500,-. Kalau dihitung jaraknya sekitar 1km, lumayan.

Karena ini bukan surat terbuka buat pak Wali, saya mau cerita saja perjalanan dengan berjalan kaki yang saya lakukan hampir tiap hari setelah pulang kerja. Lokasi tempat saya bekerja ada di sekitar jalan Paledang. Jalan yang lebarnya separuh jalan utama yang kalau dijajarkan lebarnya cukup dilalui sekitar 3 kendaraan roda 4. Jalan yang menurut toponimi wilayahnya dinamai karena dulu banyak terdapat pandai besi (paledang-Sunda) disana. Sepanjang jalan yang masih rimbun dengan pepohonan membuat perjalanan menyusurinya menjadi teduh. Paling tidak keteduhan ini membantu ketidaknyamanan trotoarnya yang di beberapa tempat menyempit dan ada yang seperti terkena longsor, hampir patah. Ditambah dengan banyaknya babang-babang ojol yang 'nongkrong' sambil memandangi layar HP, nunggu penumpang.

Baiklah, saya sampai permisi-permisi lewat diantara kumpulan babang-babang ojol tadi. Baru lepas dari kerumunan babang ojol lalu tampak generator warna orange tukang tambal ban dengan posisi hampir ke tepi jalan dan selang anginnya yang melintang dan berbelit-belit di trotoar. Loncat sedikit karena takut tersandung selang angin, akhirnya kembali bisa menghirup oksigen segar dari pepohonan.

Baru sebentar menghirup udara segar, sudah menghadang gerobak mie ayam, lalu meja saji pedagang kopi dan pedagang nasi tempat para sopir angkot dan babang ojol dan opang istirahat. Terhambat lagi langkah kaki saya, ditambah kesal hati ketika melihat cara mereka buang sampah. Gelas plastik bekas minumnya dilempar begitu saja. Mau protes agak mikir juga melihat badannya yang kekar dan tampangnya yang rada sangar, terus jalan saja, kali lain saja mungkin protesnya.



Stasiun Commuter Line (KRL) sudah dekat. Ini ditandai dengan tampaknya JPO (Jembatan Penyebrangan Orang) berwarna hijau yang berdiri tegak dengan 2 sisi tangga curam yang bikin merinding. Kalau naik takut tersandung dengan ukuran tangganya yang pendek dan kecil, kalau turun harus berpegangan takut jatuh. Itu kalau saya yang lewat situ, tak terbayang jika orang yang lebih renta atau mereka yang penyandang disabilitas harus lewat situ jika mau ke stasiun. Baiklah, tak usah lewat JPO, menyebrang saja di bawahnya dengan bantuan pak Polisi yang banyak di pos yang terletak di bawah JPO, tetap saja pintu masuk ke stasiunnya jauh, kalau di jalan raya bisa disamakan dengan melakukan U-TURN, balik arah. Bikin capek.

JPO ini hanya saya lewati saja karena tujuan saya masih agak jauh. Sebagai warga yang patuh dan taat aturan saya lalu menyebrang di zebra cross, tindakan patuh yang seringkali mengundang tawa dan cemooh di negeri berflower ini. Biarlah.
Tujuan saya kembali berjalan di trotoar. Kesulitan dimulai. Tangga naik JPO hanya menyisakan celah seukuran badan saya di sisi kiri berbatasan dengan pagar LP (lembaga Permasyarakatan), sementara sisi kanan berpagar. Pilihan satu-satunya jika ingin berjalan di trotoar dan terhindar dari banyaknya kendaraan yang akan masuk ke jalan Kapten Muslihat, ya, lewat celah sempit itu. Yang menjadi tambah sulit karena banyak orang (baca:pedagang asongan) yang duduk-duduk di pagar LP. Kalau saya memaksakan lewat, harus memiringkan badan dan nyaris bersinggungan. Sangat tidak nyaman. Akhirnya pilihan satu-satunya dengan berjalan di tepi jalan raya yang sangat tidak aman karena ramai kendaraan bermotor sampai sekitar 5-10  meter bisa masuk lagi ke trotoar.

Di bawah tangga JPO, di atas trotoar dibangun pos polisi. Di depan pos terparkir motor bapak-bapak yang sedang bertugas. ada paling tidak 5 motor terparkir setiap harinya. Dan kembali saya mencari celah melewati motor bapak-bapak tadi untuk berupaya berjalan di atas trotoar. Kembali saya harus melewati celah sempit karena tangga JPO. Dan saya harus berhadapan lagi dengan para pedagang asongan yang berkumpul di sekitar tangga.

Celah yang harus dilalui yang ditunjuk dengan panah : TAMAN TOPI.
(Sumber: https://zaeabjal.blogspot.com/2015/03/road-to-mampang-maulid-sarkub-ke-3.html)
Perjuangan belum berakhir. Tak jauh dari ujung tangga JPO ke arah Jembatan Merah terdapat Halte yang berdiri megah. Dilengkapi dengan sarana tempat duduk yang disediakan buat para calon penumpang angkot. Tapi jangan membayangkan bisa duduk disana karena seluruh tempat duduk dan area di depannya sesak dengan pedagang. Belum lagi para calo yang berteriak-teriak menyebutkan jurusan angkot yang ngetem (parkir?) di sekitar halte, bikin macet. Barangkali ingin mengatasi kemacetan yang panjang karena angkot yang ngetem tadi, para petugas dishub melarang angkot bahkan untuk sekedar berhenti menaikan dan menurunkan penumpang di halte. Bukan jadi lancar, per_ngetem_an bergeser ke atas jembatan merah. Lalu halte beralih fungsi menjadi parkiran motor. Selain pemndangan yang tidak sedap, ada bau yang tidak sedap juga. Di bawah trotoar mengalir saluran air yang aromanya tidak sedap dan baru akan hilang baunya setelah kita melewati tempat pembuangan sampah sebelum Jembatan Merah.

No caption needed :(
Setelah lewat di atas jembatan merah, saya harus menyebrang ke jalan Merdeka. Tujuan saya ke PGB (Pusat Grosir Bogor) di samping pasar merdeka tempat saya naik angkot menuju rumah. Trotoar sepanjang jalan merdeka ramai pedagang kakilima yang lapaknya memenuhi trotoar sampai beberapa kali saya terpaksa turun ke tepi jalan atau pas dengan ukuran satu orang. Dilema jika kita sudah membahas tentang para kakilima ini, semoga ada solusinya.

Saya yakin ketidaknyamanan berjalan ini akan hilang apabila pak Wali berlari ke arah sini, karena sudah dipastikan beliau akan mengatasi rintangan yg membuat beliau berkali-kali berhenti. Dan saya sangat percaya penataan kawasan ini akan segera dilakukan karena Stasiun merupakan salah satu transportasi penghubung ke Jakarta dan Sukabumi, walaupun sejak ditata dengan JPO yang menjulang sejak tahun 2014, kawasan ini belum banyak berubah. Selain itu, dengan berjalan kaki banyak yang kita bisa amati, sesuatu yang mungkin tak terlihat pada saat kita berlari.

Comments

Popular Posts