Literasi Pandemi.

Masih lekat dalam ingatan tanggal 13 Maret 2020, hari Jumat. Setelah kegiatan Sholat Jumat pelajaran berlanjut sampai pukul 14.20. di tengah cuaca yang cukup panas, murid-murid kelas 8-6 sambil setengah mengantuk berupaya menyelesaikan tagihan tugas minggu ini. Sebagian murid perempuan yang sudah selesai berbisik-bisik dengan teman sebangkunya sambil sesekali menutup mulut menahan tawa, biasanya mereka membicarakan artis atau teman yang sedang jadi obyek halu (*halusinasi). Sebagian lain berusaha mengintip pekerjaan teman sebangkunya bahkan ada yang terang-terangan menyalin dengan meletakkan buku teman di hadapannya. Saya masih ingat waktu itu sempat khawatir melihat Diaz yang sibuk mengusap hidungnya sejak tadi. Mata dan wajahnya merah, tampak sekali dia berusaha keras menahan lelehan cairan dari hidungnya. Diaz flu berat.

Semua kegiatan murid tak luput dari pengamatan saya yang duduk di hadapan mereka sambil satu per satu memeriksa dan membubuhkan nilai serta tanda tangan bertanggal di buku yang terkumpul. Nilai dan tandatangan untuk menghargai pekerjaan mereka. Akhirnya saya lihat Diaz bangkit dari kursinya untuk mengumpulkan pekerjaannya. Dari dekat semakin jelas saya lihat wajahnya yang memerah di balik kulitnya yang eksotis. Sambil menunggu bukunya dia menarik napas dengan susah payah sesekali bahkan mulutnya terbuka untuk menggantikan tugas hidung meraup O2.

Itu gambaran keadaan kelas sebelum akhirnya kegiatan belajar mengajar di sekolah dihentikan mulai hari Senin 16 Maret 2020 karena pandemic Covid-19. Karena bentuknya virus yang mudah menular seperti influenza, sangat riskan membiarkan anak-anak melakukan kontak langsung di sekolah. Terbayang keadaan kelas yang padat dimana semakin siang keadaannya semakin panas, apalagi setelah jam istirahat.

Setelah berbulan-bulan belajar di rumah, sangat dimengerti bahwa semua sudah lelah. Orangtua naik darah melihat anak-anaknya yang hanya tampak rebahan tiap hari. Mereka merasa guru-guru kurang maksimal melayani pembelajaran karena orangtua harus ikut menjelaskan materi yang belum tentu sesuai dengan apa yang telah mereka pelajari ketika sekolah dulu. Anak-anak hampir putus asa karena tidak bisa bertemu dengan teman-teman sekolahnya. Belum lagi menghadapi ayah atau ibunya yang terus-menerus bertanya tentang pelajaran yang tidak mereka pahami. Sekalinya orangtua membantu yang ada malah tambah stress karena ujung-ujungnya mereka harus juga berhadapan dengan rasa putus asa orangtua (*baca: marah).

Di media sosial bertebaran keluhan orangtua yang meminta untuk sekolah dibuka kembali. Terus terang sebagai seorang guru lebih mudah berhadapan langsung dengan peserta didik daripada menjalankan program daring, keinginan membuka sekolah lagi bukan hanya keinginan orangtua. Yang paling bahagia apabila sekolah dibuka tentu saja peserta didik karena mereka bisa bertemu langsung dengan teman-temannya. Tapi, dengan pandemic yang masih berlangsung, apakah kita akan mengambil resiko membuat sekolah kita menjadi cluster baru? Masih terbayang rekan guru yang dituntut penjara oleh orangtua karena mencubit anak mereka. Bagaimana apabila kemudian jika anak-anak mereka dibuat tidak aman dengan covid-19? Ah sudahlah, saya tidak berani membayangkannya.

Disinilah diperlukan kemampuan literasi pandemi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) literasi diartikan sebagai kemampuan dan keterampilan individu dalam berbahasa yang meliputi membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam masa pandemic ini perlu dipahami oleh semua pihak merupakan suatu keadaan yang tidak biasa. Sebuah keadaan yang tidak normal dan diperlukan sebuah tidakan darurat untuk mengatasinya.  Kenapa darurat? Karena merupakan suatu keadaan yang terpaksa kita lakukan. Tindakan yang terpaksa sudah pasti tidak enak dan yakinlah bahwa semua pihak merasakan ketidakenakan dalam melakukan kegiatan saat ini.

Karena keadaan yang tidak normal, berhentilah berupaya membuat kegiatan yang sama seperti sebelumnya. Khususnya dalam dunia pendidikan, karena kegiatan tatap muka tidak bisa tergantikan dengan aplikasi online apapun, capaian pembelajaran akan berbeda dengan seperti sebelum pandemic. Guru diberi keleluasaan untuk mengatur sendiri penyampaian materi kepada peserta didik. Banyak program yang dijalankan mulai dari guru berbagi, guru pelopor, yang intinya membantu sesama guru dalam memilih program pembelajarannya. Sebagai guru dengan banyak pilihan program, pilih yang sesuai dengan keadaan peserta didik di sekolah. Jika secara daring sulit, siapkan modul yang bisa dipelajari dan dikerjakan secara offline oleh peserta didik. Pelajari semua dan terapkan yang dipastikan tidak menyulitkan peserta didik dan orangtuanya di rumah. Bahkan di beberapa daerah zona hijau program PJJ dilaksanakan dengan mengunjungi rumah siswa.

Kemampuan literasi peserta didik yang paling menentukan keberhasilan program PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh). Mereka diharuskan untuk aktif melaksanakanpembelajaran sendiri. Memahami tagihan yang diminta dengan membaca, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah menggunakan seluruh media yang dimiliki. Sering guru membuat peserta didik sekedar membagikan kegiatan sehari-hari di rumah, mengamati keadaan dan melaksanakan analisa. Untuk kegiatan yang terakhir ini, peserta didik yang tidak memiliki kemampuan literasi akan mengalami kesulitan. Jadi ketika ada keluhan tentang PJJ bisa diartikan guru atau siswa atau orangtua yang kurang literat sehingga tidak dapat beradaptasi dengan baik.


Jadi, tolong difikirkan sekali lagi apabila sekolah terburu-buru dibuka kembali. Ada anekdot di kalangan guru yang mengatakan siswa dicubit guru saja, gurunya bisa dituntut masuk penjara, apalagi kalau ada yang kena covid atau sekolah menjadi klaster penyebaran covid, nauzubillah.

Comments

Popular Posts