Ternyata Saya Bisa!

Kemarin ada kejutan manis buat saya. Naskah yang saya kirimkan untuk ikut lomba penulisan cerita inspiratif guru dalam rangka ulangtahunnya tanggal 25 ini, (KELEMAHAN YANG JADI KEKUATAN) berhasil menjadi Runner up!

Sudah lama saya ingin "menguji" nilai tulisan-tulisan saya apakah layak untuk disebut sebuah tulisan atau hanya sebatas 'curhat'.
Kisahnya bermula dari ketidaksengajaan sebetulnya. Pada suatu hari saya berpapasan dengan seorang rekan guru yang membawa sehelai kertas untuk difoto kopi. Tanpa sengaja sudut mata saya cukup jeli untuk melihat tulisan "LOMBA MENULIS...." di kertas yang dia bawa. Seketika langkah saya berhenti.
"Bu, boleh lihat kertasnya? aku mau ikutan dong..", mata saya tak lepas dari sehelai kertas yang dipegangnya.
"Oo.. ini undangan workshop dari TRuE tentang penulisan di blog. Ah, Ibu kan udah bisa nulis kayaknya, saya pengen bisa juga nih.." rupanya dia mengira saya ingin ikut dalam workshop yang akan diselenggarakan True (Teacher ResoUrces Empowerment) sebuah lembaga yang concern terhadap peningkatan kualitas guru bekerjasama dengan harian Jurnal Depok dan Jurnal Bogor. Ada workshop-fee yang harus dibayar dan sekolah mengirimkan 2 orang guru untuk terlibat. Untuk hal pelatihan atau workshop, hampir tidak pernah sekolah mengirimkan saya sebagai wakilnya, mungkin karena saya kurang memenuhi syarat (entah syaratnya apa..)dan hal ini saya terima dengan lapang dada.
"Bukan workshopnya, Bu, saya ingin tahu lombanya menulisnya," saya terus mengintip berusaha membaca tulisan di atas kertas yang tetap dipegangnya.
"Oooh.. ini.... Rencananya saya sama Bu Sinta yang mau ikut, besok," akhirnya berpindah juga kertas itu ke tangan saya. Tapi ternyata informasinya kurang lengkap.
"Undangan lengkapnya ada di Bu Nurlela, Bu," katanya lagi seakan menangkap pikiran saya yang sibuk membolak-balik selembar kertas tadi. Mata saya langsung berbinar...
"Saya cari Bu Nurlela sekarang deh, makasih kertasnya ya, Bu.." lalu kertas itu berpindah lagi ke tangannya.

Di ruang guru saya temukan Bu Nurlela.
"Bu, boleh lihat undangan workshop True ngga?" saya berkata sambil (seperti) sedikit memohon.
"Mm.. emm.. yang mana ya?" lagi-lagi saya seperti 'dicegah' untuk tahu, apalagi ikutan (hiks..!)
"Tadi aku lihat punya Bu Elly, Bu," saya tambah wajah memohon saya dengan senyum yang lebar berusaha menarik simpati.
"Nanti ya, saya ada kelas dulu..," Bu Nurlela sedikit jual mahal. Saya anggap menunggu 2x45 menit tidak akan menghalangi saya untuk tahu informasi yang saya inginkan.
"OK!" saya menjawab pasti.

Ketika saya lihat syarat lombanya, saya hampir tidak percaya. Bukan karena waktunya yang mepet (naskah harus sudah ada di tangan panitia dalam 3 hari ke depan!), melainkan karena syaratnya sangat sederhana dan tidak 'neko-neko' kalau kata orang Jawa bilang, alias tidak macam-macam. Kita cuma diharuskan menulis pengalaman inspiratif saat jadi guru, selain itu syarat lain hanya teknis penulisan yang harus 4 halaman A4, spasi 1,5.
"Kalo cuma ini syaratnya siapapun pasti mau ikut," saya lalu berkata dalam hati. Lalu saya niatkan dalam hati, besok akan saya ajak sebanyak mungkin teman-teman untuk berpartisipasi.

Hari Sabtu, dengan semangat saya mulai promosi lomba. Saya ingin sebanyak mungkin teman-teman menuangkan pengalaman mereka mengajar selama bertahun-tahun yang siapa tahu bisa menjadi inspirasi bagi guru-guru lain. Saya sebarkan formulir (yang bisa diperbanyak sendiri) kepada siapa saja yang saya temui. Namun rupanya karena teman-teman hanya punya waktu 2 hari untuk membuat ceritanya, mereka kurang punya cukup waktu untuk berkreasi lewat tulisan, walaupun setiap hari dalam kehidupan teman-teman sebagai guru pasti sangat inspiratif. Keadaan ini sedikit saya sesalkan karena undangan ini terlalu lama tersimpan di meja administrasi sebelum (akhirnya) bisa diinformasikan dan ditindak lanjuti.
Namun saya berhasil mengajak 2 teman. Jadilah kami bertiga sepakat untuk menyerahkan naskah kami pada hari Senin.

Tinggal sekarang saya berfikir, jangankan ditulis, idenya sendiri masih berserakan di kepala. Ini namanya bekerja 'under pressure' . Cukup lama saya tatap prompt yang berkedip-kedip menanti huruf pertama dimasukkan lewat keyboard. Lalu saya pejamkan mata mulai menghitung mundur, menata ide yang berserakan di kepala, 5-4-3-2-1..mulai!

Saya baca ulang naskah yang sudah saya ketik selama kurang lebih satu jam dengan tatapan ragu. Apakah naskah ini layak ikut lomba? Untuk menambah rasa PeDe alias Percaya Diri, saya minta seorang teman (yang biasa saya ajak share tentang tulisan-tulisan saya) untuk menjadi pembaca pertama.
Saya pandangi terus ekspresi wajahnya saat dia membaca tulisan saya, sampai dia merasa jengah. "Bentar dong, Missell," katanya berkali-kali.
"Gimana ?" akhirnya saya bertanya saat dia mengangkat wajahnya dari monitor.
"Bagus.." dia menjawab. Saya menunggu kelanjutannya..tapi dia cuma bilang satu kata saja.
"Alurnya? konfliknya? klimaksnya?" saya kejar dia dengan pertanyaan, hanya karena saya kembali punya keinginan untuk tidak akan mengirimkan naskah saya.
"Udah Miss, kirimin aja, bagus kok..", dia cuma bilang itu lagi. Yahhh, dia pasti bilang bagus, dia kan teman saya. itu yang ada dalam fikiran saya.
"Yakin?" saya berusaha memastikan.
"Yup, hundred percent sure!" menyemangati sekali teman saya yang satu ini.
Akhirnya saya print juga naskahnya, saya masukkan ke dalam amplop coklat lalu saya simpan di laci meja saya. Sengaja tidak saya bawa pulang karena takut dalam perjalan pulang saya kembali ragu dan naskah ini akan tersimpan di sudut lemari di rumah saya yang sesak dengan buku yang beberapa belum sempat saya baca.

Senin, Bu Etty, teman yang ikut mengirimkan naskahnya berbaik hati membawa serta naskah saya yang hari itu penuh mengajar 8 jam pelajaran. Ada baiknya dibawa Bu Etty, supaya saya tidak harus menatap wajah panitia yang menerima naskah saya. Betul-betul rasa percaya diri saya "parah banget" kalau kata murid saya. Setelah naskah saya berpindah ke tangan Bu Etty, saya berusaha tidak memikirkannya lagi dan tenggelam dalam kesibukan belajar bersama murid-murid, sampai dua minggu kemudian TRuE menghubungi melalui telepon dan SMS bahwa para penulis diminta mengirimkan profil lengkap untuk dicatat sebagai peserta lomba.

"Pemenangnya udah ada, Bu," Pak Asep, teman yang ikut mengirimkan naskahnya berkata pada saya.
"Bukan saya kan, Pak?" sedikit 'ngarep' ya, tapi tak apalah.
"Ada di koran Jurnal hari ini, Judulnya: Terima Kasih, Faey," Pak Asep berkata lagi.
"Korannya mana?" saya ingin tahu seperti apa tulisan yang 'benar' dan 'bagus' sehingga bisa menang.
"Tadi ada disini," Pak Asep menengok kesana kemari sambil membolak-balik kertas yang berhamburan di mejanya. Hari bersih-bersih rupanya.
"Ga apa-apa, Pak, biar saya cari," saya lalu tinggalkan Pak Asep yang sedang menyortir kertas-kertas yang ada di mejanya.

Cerita inspiratif pemenang lomba itu akhirnya saya baca melalui Jurnal Bogor online (karena korannya akhirnya tidak ketemu). Ceritanya ringan dan mengalir, sangat manusiawi dan menyentuh. Pantes deh, kata saya dalam hati. Lalu saya menerawang, suatu saat saya harus bisa bertutur seperti itu.

Tepat hari GURU, 25 November, ada SMS masuk, isinya undangan untuk share buat semua peserta lomba keesokan harinya. Nah, acara seperti ini sebetulnya yang saya tunggu. Langkah untuk perbaikan diri, self quality improvement yang terus berlangsung. Esoknya pun secara khusus saya ditelepon oleh panitia untuk 'sekedar mengingatkan', katanya. Jadilah siang itu, dibawah gerimis hari Kamis saya datangi kantor TRuE.

Rupanya selain merangkap base camp (kira-kira begitu ya?) kantor TRuE ternyata sebuah sekolah alam untuk usia TK. Saya sangat tertarik ketika melihat ada rumah pohon, kelas-kelas yang terbuka, membiarkan segarnya udara, basahnya hujan dan teriknya matahari dapat dengan bebas menyelinap melalui dinding kelas yang setengahnya adalah jendela dan terbuat dari bilik bambu. Di sebuah sudut saya melihat sebuah periskop mini, yang kalau kita intip, gambar yang tampak seperti kalau kita mengintip daratan dari bawah air. Dua orang anak sibuk mengintip dan memutar-mutar periskop tadi. Dengan melihat itu saya berpikir hanya keceriaan yang setiap hari dilakukan disini, spontanitas dan rasa ingin tahu yang tinggi pasti menyertai hari-hari bermain sambil belajarnya. Dan kesan itu semakin kuat ketika saya diundang masuk.

Isi 'obrolan' hari itu dengan para pendiri dan penggagas TRuE adalah seputar dunia menulis, tips serta kekuatan dalam menulis (sepertinya hal ini suatu saat akan saya buat dalam episode sendiri). Lomba ini memang sengaja diadakan dengan syarat 'ringan' untuk menjaring sebanyak mungkin tulisan tentang Guru. Responsnya cukup baik, ada 35 tulisan dari 25 orang peserta yang datang dari Jobodetabek dan juga Sukabumi. Saya lihat bundel karya para peserta.. banyak juga. TRuE juga mengungkapkan keinginan mereka untuk menjadikan bundel cerita tadi menjadi sebuah buku yang akan disebarkan dengan lebih luas lagi (dengan catatan kalau ada penerbit yang tertarik, karena biasanya penerbit akan sangat mempertimbangkan sisi pasarnya). Yang saya fikirkan saat itu adalah betapa malunya ketika karya saya dibaca banyak orang, karena jangankan dibaca banyak orang, berfikir karya saya akan dibaca sekelompok orang juri saja rasanya saya tidak PeDe. Namun cara pandang saya ini diluruskan oleh Bapak M. Ridwan, editor senior yang merangkap Humas di Pemkot Bogor sebagai salah seorang anggota Juri. "Anda penulis, bukan EDITOR. Jadi yang menetapkan tulisan anda bagus atau jelek bukan anda, melainkan orang-orang yang membaca karya anda. Sementara hasilnya akan sangat subjektif, karena selera orang berbeda-beda," betul-betul kalimat ini Powerfull buat saya.

Waktu berlalu tanpa terasa, saat itu saya seperti spons yang ingin menyerap setiap kata tentang bagaimana cara menulis yang baik. Tulisan adalah sebuah ungkapan hati yang jujur, tulus, bebas, sesuai dengan apa yang kita lihat dan rasakan yang tidak boleh berhenti. Walaupun sebenarnya hati saya belum puas benar, namun acara share itu harus selesai. Tiba pada saat yang ditunggu oleh seluruh peserta lomba, pengumuman pemenang.

Karena saya merasa sudah tahu pemenangnya, saya hanya mendengarkan tanpa pengharapan. Karya saya masih perlu banyak perbaikan dibandingkan tulisan yang berhasil menang, saya kira. Tiba pengumuman 10 besar. Saya malah berharap kedua teman saya bisa jadi masuk di posisi 2 dan 3. Kemudian 6 besar, lalu 3 besar!

Tempat ke 3.. diraih oleh Bapak Eman.. (aduh maaf, Pak, saya lupa nama Bapak..), dari SD Ummul Quro, sekolahnya para calon pemimpin yang Juara bukan saja dari pemahaman dunia tapi juga memahami agama.
"Tempat kedua.. Dari SMPN 1," kata pihak panitia yang mengumumkan... 'waduh, itu kan sekolah tempat saya mengajar.. langsung saya menengok ke kiri dan kanan, tempat Pak Asep dan Bu Etty duduk. Dalam hati saya beruntung benar mereka bisa dapat posisi runner-up.
"Judul ceritanya adalah...," panitia sengaja membuat tegang.
"KELEMAHAN YANG JADI KEKUATAN, karya Ibu Selly," lalu disusul tepuk tangan.
'Eh... dia sebut nama saya!', wajah saya langsung memerah, antara perasaan senang, bangga, malu (kok malu ya??) dan tidak percaya! Fikiran saya flash back ke belakang, ingat cerita saya yang menggambarkan betapa saya berjuang untuk pantas disebut sebagai GURU oleh murid-murid saya, betapa tetesan keringat dan airmata ikut memperindah perjuangan saya, betapa energy yang saya curahkan ternyata berakhir dengan sangat manis.

Saya tatap selembar kertas berwarna hijau dengan nama saya tercetak besar-besar, lalu dibawahnya tertulis: "Sebagai Juara 2 lomba menulis kreatif dan inspiratif...". Masih tidak percaya saya tatap dan baca lagi sebelum dengan hati-hati saya masukkan ke dalam ransel yang penuh dengan pin dan gantungan kunci yang selalu bergemerincing, yang setia mengikuti langkah saya. Saya juara... mudah-mudah memang bisa jadi inspirasi. Saya juara...ini yang pertama tapi bukan yang terakhir. Saya juara... Ternyata saya BISA!!.

Comments

Popular Posts