Quality Time Alone di Oud Batavia.

Kekurang percayaan akan kebersihan dan kualitas udara di stasiun dan diatas commuter line bagi anak-anak menyebabkan saya untuk kesekian kalinya pergi ke Jakarta sendiri. Cuaca hari ini yang hangat saat saya menginjakkan  kaki di stasiun kota menggoda saya yang tadinya hanya akan mencari bahan menyalurkan hobi di daerah Asemka, berbelok ke kanan setelah underpass yang menghubungkan stasiun kota dengan kompleks museum.

Salah satu ruang pamer Museum Bank Mandiri
Akhirnya tanpa niat yang bulat namun keingintahuan yang besar saya masuki museum yang pertama.
Dikenakan 'charge' (istilah penjaga loketnya) sebesar Rp. 2000,00; karena saya bukan pelajar, juga ga dipercaya sebagai mahasiswa ditambah bukan nasabah bank mandiri, yang bisa masuk gratis.
Dari sejak melihat bentuk bangunan lalu mulai menaiki tangga masuk ke gedung museum, bagi penyuka bangunan tua seperti saya, bangunan Museum Bank Mandiri sangat memanjakan mata dan hati. Suasananya yang tidak terlalu penuh hari tadi menyebabkan saya bisa dengan santai mengeksplorasi ruang demi ruang. Bahkan dalam satu kesempatan saya sendirian berada dalam ruang bawah tanah dimana dulu dijadikan tempat penyimpanan savety box dan surat berharga. Sensasi yang menegakkan bulu kuduk, seru!
Hal menyenangkan lain yang saya temui di Museum Bank Mandiri adalah sarana pamer alat komunikasi dari masa ke masa. Mulai dari manual dengan tulis tangan di atas buku-buku besar, kemudian pemakaian mesin tik portable, mesin tik listrik, komputer dari generasi ke generasi, sangat pas buat pembelajaran TIK di kelas 7. Jadi muncul niat untuk field trip kesini.

Setelah merasa cukup berkeliling basement, ground floor dan 1st floor saya masuk ke sisi pintu masuk, toko souvenir! Paling tidak ada sesuatu yang bisa mengingatkan bahwa saya pernah kesini. Dapat kartu pos bergambar sepeda dan gambar gerbang bangunan museum serta sebuah pin. Seluruhnya  saya dapat dengan harga Rp. 10.000,00.

Cuaca masih bersahabat saat saya keluar bangunan museum. Saya lanjutkan eksplorasi saya ke gedung di sebelahnya, Museum Bank Indonesia. Saya kira apa yang akan saya temui sama saja dengan di Museum Bank Mandiri, ternyata saya keliru!
Museum Bank Indonesia membebaskan para pengunjung dari biaya masuk. Para pengunjung diatur untuk berjalan satu arah, berlawanan dengan arah jarum jam. Konsepnya seperti apa? saya bertanya dalam hati, dan terus terang apa yang saya temui membuat saya kagum. Ternyata kita punya museum yang mengusung tema sejarah dihubungkan dengan moneter dan sama canggih dengan museum yang pernah saya kunjungi di Singapura. Hal ini yang membuat saya sangat bangga, ternyata kita sangat memperhatikan sejarah dan berniat mewariskannya dengan cara yang menarik. Di ruangan terakhir berisi mata uang Indonesia sejak dulu serta contoh mata uang dari negara lain di seluruh dunia. Membuat saya betul-betul merasa bahwa Indonesi memiliki sejarah yang sangat panjang dan berliku.. (lebay ga ya?).

Rasanya dada sudah penuh dengan kepuasan akan eksplorasi gedung tua hari ini, cuaca pun mulai panas. Namun rasa penasaran akan museum lain yang belum dikunjungi membuat saya lalu melangkah menuju 2 museum lain, yaitu Museum Sejarah Jakarta dan Museum Wayang. Masuk ke area Museum Sejarah Jakarta saya agak kecewa. Tadinya saya mengharapkan suasana di Museum Sejarah Jakarta tidak jauh berbeda dengan dua museum sebelumnya. Ternyata saya disambut oleh suasana hiruk pikuk bak pasar kaget di Tanah Abang. Adanya pameran membuat area sekitar museum menjadi padat dan membuat suasananya jadi 'ga dapet' dan 'ga banget'. Tanggung udah ada di depannya saya fikir akhirnya saya masuk juga ke Museum Fatahilah, nama lain dari Museum Sejarah Jakarta. Kembali dikenakan biaya masuk Rp 2000,00 (ngerasa agak rugi), keadaannya sangat jauh dari baik. Kuno boleh, tapi yang saya dapatkan adalah kumuh. Sayang sekali karena koleksi yang dimiliki Museum ini termasuk lengkap. Saya jadi berpikir untuk sebaiknya dikelola oleh pihak swasta.. mmm...

Tak berlama-lama di tengah keramaian yang sangat, saya lalu masuk ke museum terakhir yang saya kunjungi hari tadi, yaitu Museum Wayang. Entah karena wayang dianggap kurang menarik, namun pengunjung ke museum ini bisa dibilang tidak ada. Saya hanya bertemu paling tidak 10 orang yang ada dalam museum yang cukup besar. Dengan (kembali) Rp. 2000,00,  isi Museum Wayang sudah pasti tentang sejarah dan macam-macam wayang berbagai daerah di Indonesia dan dunia. Disini saya baru tahu ternyata ada wayang yang asli dari Bogor, kota kelahiran saya. Saya pikir wayang nya sama dengan wayang purwa dari daerah Bandung, ternyata beda! Disini kembali 'feel nya dapet' untuk sebuah museum. Ada sarana IT yang menjelaskan tentang wayang, ruang pamer yang cukup menarik dan suasana yang tenang (paling penting buat sebuah museum nih!). Merasa terkesan, saya membeli sebuah bros kecil Srikandi untuk mengingatkan kekuatan serta jiwa prajuritnya sesuai dengan cerita pewayangan jawa. Saya lebih menyukai peran Srikandi dalam versi pewayangan Jawa daripada versi Mahabrata dengan trans gender-nya yang agak... 'membingungkan'.

Tanda mata.
Berusaha kuat untuk tidak membeli barang yang bermacam-macam dipamerkan di sekitar museum, dengan mantap saya melangkahkan kaki ke tujuan utama, Asemka. Betul-betul saya menikmati waktu sendiri yang berkualitas di kota tua Jakarta. Suatu hari saya akan kembali dengan anak-anak dan murid-murid.
Satu hal yang sesali hari ini, tidak bawa kamera!

Comments

Popular Posts