Bushido In Education 1

Menyambut hari Guru 25 November, pada tanggal 3 Desember ini diadakan upacara yang diikuti oleh seluruh guru kota Kami. Begitu pentingnya seremonial ini sehingga dalam surat edaran ke sekolah-sekolah dinyatakan untuk meliburkan murid-murid pada saat hari peringatannya. Begitulah, seluruh guru di kota kami menyemut di lapangan sempur untuk 'reuni' dengan rekan mereka sesama pengajar.
Saya ingin membandingkan bagaimana sebuah negara menghargai profesi guru yang berimbas pada semangat mengabdi seorang pendidik terhadap bangsa dan negara, memberi jiwa pada anak bangsa. Bagaimana kalau Jepang kita ambil sebagai pembanding? Teman-teman langsung protes, Jepang?? plis deh ahh!
Jepang adalah salah satu negara di Asia yang standar pendidikannya menduduki high stakes diantara negara-negara OECD. Bidang-bidang yang diteliti adalah Entry to teacher education program (saringan masuk ke sekolah pendidikan guru), Evaluation of practical experience (evaluasi pengalaman praktek lapangan/KKL), Exit from teacher education program (hasil/ lulusan program pendidikan keguruan), certification (sertifikat), Hiring (penggajian), Evaluation of Indiction period, Evaluation of professional development (evaluasi pengembangan profesionalisme), Evaluation of probation period (for tenture). Selain Jepang, negara-negara yang diteliti merupakan Negara-negara yang dianggap memiliki pola pendidikan terbaik di dunia yaitu Australia, Inggris, Hongkong, Korea, Belanda, Singapura dan Amerika Serikat.

Keingintahuan saya atas 'rahasia' Jepang memperoleh standar yang begitu tinggi, dijawab dalam seminar yang diadakan oleh Sampoerna Foundation beberapa waktu yang lalu di Jakarta dengan narasumber Prof. Ayami NAKAYA (
Associate Professor at Hiroshima University, Japan) dan Prof. (emeritus) H.A.R. TILAAR. Dalam seminar tersebut dibahas bagaimana faktor-faktor seperti; Control and Governance (kontrol dan kebijakan pemerintah), Standards for entrance into exit from teacher education program (standar untuk dapat masuk dan hasil lulusan program pendidikan guru), Certification requirement (pengakuan atas sertifikat), Availability for advance certification (ketersediaan sertifikasi yang lebih tinggi), Hiring and compensation (system penggajian dan kompensasi), dan In-service and professional development requirement (ketersediaan pengembangan profesionalisme).
  1. Control and Governance(Kontrol dan Kebijakan Pemerintah); Jepang sangat memperhatikan peningkatan mutu dan kesejahteraan guru.

    Untuk menjadi seorang guru, seseorang harus paling tidak lulus associate degree (setara D3). Setelah itu board of education mengeluarkan sertifikat mengajar (nasional) apabila orang tersebut dianggap cakap dalam menguasai subject tertentu. Setelah mendapat sertifikat seorang guru harus mengikuti penataran yang diadakan pemerintah sebanyak kurang lebih 9 kali dan dalam setahun menjadi asisten untuk guru senior. Setelah mendapat sertifikat guru, dalam 5 tahun akan mendapat training dan akan kembali training setelah 10 tahun.
    Selain training yang dilakukan oleh pemerintah, training tingkat sekolah sangat penting dalam rangka peningkatan profesionalisme. Dalam training tersebut guru melakukan kegiatan mulai dari perencanaan pembelajaran, diskusi antar guru matpel dan pada beberapa kesempatan memanggil seorang penilik untuk menilai cara mereka melakukan pembelajaran di kelas. Seluruh hal tersebut dilakukan oleh pemerintah Jepang dan diikuti oleh institusi pendidikan terkait secara konsisten dan berkesinambungan.

    Dari sebuah blog; (http://murniramli.wordpress.com/2007/04/06/rainbow-plan-reformasi-pendidikan-di-jepang/) ditemukan pula tentang reformasi pendidikan di Jepang. Secara umum, reformasi dilakukan dengan cara:

    1. Mengembangkan kemampuan dasar scholastic siswa dalam model pembelajaran yang menyenangkan. Ada 3 pokok arahan yaitu, pengembangan kelas kecil terdiri dari 20 anak per kelas, pemanfaatan IT dalam proses belajar mengajar, dan pelaksanaan evaluasi belajar secara nasional
    2. Mendorong pengembangan kepribadian siswa menjadi pribadi yang hangat dan terbuka melalui aktifnya siswa dalam kegiatan kemasyarakatan, juga perbaikan mutu pembelajaran moral di sekolah
    3. Mengembangkan lingkungan belajar yang menyenangkan dan jauh dari tekanan, diantaranya dengan kegiatan ekstra kurikuler olah raga, seni, dan sosial lainnya.
    4. Menjadikan sekolah sebagai lembaga yang dapat dipercaya oleh orang tua dan masyarakat. Tujuan ini dicapai dengan menerapkan sistem evaluasi sekolah secara mandiri, dan evaluasi sekolah oleh pihak luar, pembentukan school councillor, komite sekolah yang beranggotakan orang tua, dan pengembangan sekolah berdasarkan keadaan dan permintaan masyarakat setempat.
    5. Melatih guru untuk menjadi tenaga professional, salah satunya dengan pemberlakuan evaluasi guru, pemberian penghargaan dan bonus kepada guru yang berprestasi, juga pembentukan suasana kerja yang kondusif untuk meningkatkan etos kerja guru, dan pelatihan bagi guru yang kurang cakap di bidangnya.
    6. Pengembangan universitas bertaraf internasional
    7. Pembentukan filosofi pendidikan yang sesuai untuk menyongsong abad baru, melalui reformasi konstitusi pendidikan (kyouiku kihon hou) (MEXT, 2006).

    Peningkatan profesionalisme guru tentu saja diikuti oleh peningkatan kesejahteraan guru. Pemerintah menghargai profesi guru dengan memberi insentif yang tinggi. Seiring dengan penghargaan secara finansial, masyarakat Jepang sangat menghargai seorang guru secara profesi dan pribadi yang patut diteladani.
    Berbeda dengan keadaan di Indonesia. Profesi guru masih belum mendapat tempat yang layak (coba kita tanya berapa orang dari murid kita dalam satu kelas yang ingin menjadi seorang guru? mungkin hampir tidak ada). Hal ini menurut Prof. Tilaar sangat ironis mengingat sebenarnya masyarakat Jawa sangat menghargai profesi ini sejak dulu. Hal ini tercermin dari pengertian kata "guru" dalam bahasa Jawa disandingkan dengan kedudukan seorang Raja. Kurangnya penghargaan dari pemerintah dalam hal finansial menyebabkan guru di Indonesia (bahkan setingkat profesor sekalipun) tidak memungkinkan untuk meningkatkan kemampuan dan profesionalisme, melakukan penelitian atau menulis sebuah buku, karena waktunya dihabiskan di kelas untuk 'transfer' ilmu. Pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh pemerintah lebih banyak berupa menjalankan program bukan kepada hasil yang ingin dicapai. Kebijakan pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan sering tidak sejalan dengan program sekolah yang "katanya" sudah memiliki otonomi.
    Internal control dari Kepala Sekolah dan pihak komite sekolah belum berjalan dengan baik. Dalam beberapa kasus, komite sekolah malah dijadikan sumber pungutan oleh pihak sekolah. Dinas pendidikan yang seharusnya mempunyai control dibantu oleh dewan sekolah juga belum berjalan dengan semestinya baik di tingkat pusat, propinsi, kabupaten maupun di kota. Oleh karena itu pengelolaan pendidikan nasional di Indonesia perlu kerja keras.

  2. Standards for entrance into exit from teacher education program (Standar masuk dan hasil lulusan program pendidikan guru); The principal at Matsu Elementary school, who had spent several years at the Naka City Board of Education and had been involved in hiring and promotions, remembered the selection process as follows:

    There are various credits you take to get a teachers' license . . . . Within universities they have thought a lot about the curriculum and even if it is well constructed, not all students will necessary develop along with it. The license isn't enough in order to become a teacher, they have to take an examination. Next year there will be 170 Naka City elementary school teachers hired. According to yesterday's newspaper, there are now about 16 times that many who have applied. How we choose them, I think that is the second most important thing. It is hard to know what type of test is best. It's not only a paper and pencil test. It is quite difficult to test how much teaching ability they have. (http://www.ed.gov/pubs/JapanCaseStudy/chapter5b.html). Jika kita cermati dalam pernyataan tersebut pemerintah Jepang menganggap ijazah keguruan tidak cukup bagi seseorang untuk dinyatakan sebagai seorang guru. Karena itu program pelatihan berkesinambungan sangat diperlukan.

    Dalam penjelasan selanjutnya disebutkan; Academic ability alone does not allow an individual to enter teaching. The principal at Tancho Elementary school, who also had experience interviewing applicants, talked in detail about what he remembered about the procedures for selecting teachers. He described them as follows:

    I guess it is about what kind of person they are. First there is a test of their abilities–in all of the subjects. For those who are above a certain basic level, we then have an interview. There we are looking at their personal character and their ideas toward education. Their way of thinking and ideas about children. Their kindness and thoughtfulness (yasashisa and omoiyari). That is the most important for teachers. So we evaluate that at the interview. And then, only those who are employable are chosen. We present various problems. For example, "you are in the classroom, and now you are about to go on the school excursion. What cautions are you going to tell the children?" We have them think that the interview meeting is a classroom and to think of the interviewers as the children. There are about five of us there. For example, "next week is the school trip. Among the five of us, one is sick, how shall we treat that person?" And we also ask them various common sense questions about education. I said "common sense" right? Since they are trying to become teachers, we of course expect them to know all about the contents of the Course of Study. We ask them about the important points only. And through that sort of thing, we can tell if they are the sort of person who would be a good teacher of the students.

    This description summarizes the contents of the screening process for new teachers. The process is lengthy and conducted by older teachers with years of experience, like the two principals quoted above.
    Bahwa kecakapan seorang guru selain ditentukan oleh ijazah keguruan yang mereka peroleh, pengalaman mengajar, kepribadian, karakter dan pandangan para calon guru terhadap dunia pendidikan sangatlah penting. Pada saat seseorang akan menjadi guru, penilaian dilakukan dengan cara interview oleh mereka yang berpengalaman dalam mengajar/senior (terdiri dari kurang lebih 5 orang interviewer) yang menanyakan hal-hal yang sangat mungkin terjadi dalam proses pembelajaran. Keramahan dan keprihatinan (budi pekerti) para calon guru adalah hal yang sangat diperhatikan.

    Para calon guru di tahun pertama diharuskan mengadakan penelitian untuk self finding tentang bagaimana menjadi seorang guru yang baik. Hal ini dilakukan dengan cara mencari seorang guru model yang berpengalaman untuk dijadikan sumber penelitian. Dari pengalamannya meneliti akan tertanam bagaimana kelak ia akan menjadi seorang guru. Untuk menjadi seorang guru SD berbeda dengan menjadi guru SMP dan SMA. Untuk menjadi guru SD lebih banyak pemberian ilmu pedagogik sementara untuk guru SMA seseorang tidak harus kuliah di jurusan kependidikan karena penekanannya adalah dalam bidang keilmuan yang didalaminya. Untuk mendapat sertifikat guru, seseorang dari jurusan non kependidikan harus mengikuti pendidikan keguruan selama jangka waktu tertentu untuk mendapatkan sertifikat mengajar. Prof Ayami mengatakan:

    · Di Jepang selama 2 tahun di awal kuliah, mahasiswa diberi pelajaran liberal arts (mata kuliah umum). Tujuan diberikannya liberal arts supaya guru mempunyai wawasan yang luas.

    · Untuk masuk ke sekolah pendidikan di Jepang tidak mudah. Seseorang yang berkeinginan untuk masuk ke sekolah guru harus melalui beberapa tahap seleksi berupa test tertulis, wawancara dan praktek:

    1. Test tentang ilmu pendidikan dan teaching subject .

    2. Group discussion dan praktek mengajar/ mikro teaching di hadapan penguji.

    3. Special subject dan berenang. Semua guru di Jepang harus bisa berenang, karena selama musim panas semua murid diberi pelajaran berenang dan semua guru harus dapat menjadi pendamping siswa dan melakukan tindakan penyelamatan apabila diperlukan.

    Untuk menjadi seorang guru yang baik tidak diperoleh dengan cara diajarkan di bangku kuliah. Setelah masuk ke sekolah guru, selama 1 tahun pertama setiap mahasiswa melakukan research ke sekolah-sekolah untuk mendapatkan jawaban bagaimana menjadi seorang guru yang baik.

    Agak berbeda dengan keadaan di Indonesia. Para mahasiswa yang mengambil fakultas pendidikan tidak pernah secara khusus mengadakan research tentang bagaimana menjadi guru yang baik atau mencari jawaban atas "how to teach well". Pembelajaran yang dilakukan di fakultas pendidikan masih melulu bagaimana mentransfer materi pembelajaran ke kepala siswa. Sehingga pada saat terjun di lapangan proses "mendidik" menjadi barang langka. Jika boleh mengambil perumpamaan, seorang guru di Indonesia diterjunkan di medan perang tanpa dibekali senjata. Apa senjata di dunia pendidikan? yaitu kemampuan seorang guru dalam mendidik yang hanya dapat diperoleh dari pengalaman dan research karena mendidik adalah "ilmu praktis" yang tidak bisa diajarkan di bangku kuliah.
    Kebutuhan akan guru yang kompeten di bidangnya pernah dilakukan pada masa penjajahan Belanda dengan menjadikan lulusan ITB untuk menjadi guru matematika, lulusan IPB untuk guru IPA. Namun saat ini hal ini sulit dilaksanakan karena tidak mendapat dukungan dari dinas terkait. Selain profesi sebagai guru (barangkali) kurang membanggakan bagi seorang lulusan ITB/IPB, standar pemerintah untuk menjadi seorang guru adalah lulusan IKIP/UPI jurusan pendidikan dan mempunyai ijazah AKTA IV bagi yang bukan lulusan IKIP/UPI. AKTA IV sendiri keberadaannya sekarang sudah menuju ambang kematian. Hanya di beberapa PT saja yang masih menyelenggarakan kursus selama kurang lebih setahun ini. Alasan peniadaannya sendiri saya belum jelas, mungkin karena banyak lulusan AKTA IV yang tidak diakui. Terbukti Ijazah AKTA IV secara praktek tidak diakui (baca:tidak lolos seleksi administrasi) pada saat ujian CPNS walaupun secara "teori" ijazah AKTA IV diakui.

    Pada saat Indonesia belum merdeka, kedudukan Lab. School adalah benar-benar menjadi pusat kajian dan praktek para calon guru. Keadaan ini sekarang telah bergeser melihat Lab. School belakangan menjadi "komersil" kalau boleh saya pinjam istilah dari Prof. Tilaar.

    Hal lain yang tidak kalah penting adalah (kembali) masalah peningkatan kesejahteraan seorang guru. Gaji guru yang kurang menjanjikan menjadikan profesi guru miskin peminat. Sehingga Prof. Tilaar secara berani menyebutkan bahwa mahasiswa fakultas pendidikan adalah "crops of the crops" (sampah dari tumpukan sampah). Profesi yang dipilih karena keterpaksaan tidak diterima di fakultas lain, sangat jarang mahasiswa fakultas pendidikan yang betul-betul memiliki hasrat mulia untuk menjadi seorang pendidik.Akan dibahas selanjutnya dalam Bushido In Education Ch. 2:

  3. Pengakuan atas sertifikat.
  4. Ketersediaan atas sertifikasi yang lebih tinggi.
  5. Sistem penggajian dan kompensasi.
  6. Ketersediaan pengembangan profesionalisme.

Comments

interesting theme.....
bner bgt ma semua itu....untuk menjadi pengajar yang bhner - bener bisa and layak untuk mengajar or mendidik anak - anak harus mempuinyai skill, sikap, kepribadian yang sngat baik...

jangan hanya mengandalkan skill yang sangat tinggi tapi pada saat mengajarnya tidak attitudenya jelek...seperti suka memukul anak pada saat anak tidak memerhatikan pelajran....apalagi skrg di Indonesia banyak sekali kejadian - kejadian yang membuat nama guru menjadi rusak....seperti pelecehan seksual, kekerasan pada anak didik,dll
itu adalah bukti dari ketidak sinambungan antara skill yang dimiliki, dengan attitude seorang guru....
kalau seperti ini terus dunia pendidikan Indonesia menjadi sangat jelek....f4j4r

Popular Posts