Digital Immigrants Vs Digital Natives.

Hari ini, untuk kesekian kali saya ikut dalam diskusi panel yang diadakan oleh Sampoerna Foundation yang tahun ini merubah nama Teacher Sharing Network menjadi Educators Sharing Network mengingat peserta diskusi yang ternyata tidak hanya datang dari kalangan GURU saja. Sebagai fasilitator adalah Bpk. AGUS SAMPURNO; IT Specialist Teacher di Sekolah GLOBAL JAYA. Blog beliau http://gurukreatif.wordpress.com/

Intinya adalah bagaimana GURU, ORANGTUA dan PENDIDIK secara umum menghadapi anak usia sekolah yang sudah menjadi Digital Natives atau penduduk asli dunia maya sementara orangtua (dan guru) adalah Digital Immigrants atau tamu di dunia maya. Pengelolaan peserta diskusi yang dibagi lagi menjadi beberapa kelompok sangat memungkinkan terjadi sharing yang seru sekaligus menarik (dan menyebabkan waktu selama 2 jam menjadi sangat kurang).

Dari seluruh kalangan, mulai dari ORANGTUA, GURU di jenjang TK hingga SMA serta DOSEN setuju jika ada GAP yang merentang antara orangtua dan anak. Perbedaan yang tajam tersebut perlu disikapi dengan bijak. Kadang kita sebagai orangtua melihat teknologi sebagai suatu ancaman, sesuatu yang sangat buruk dan perlu dibatasi (atau samasekali tidak perlu dikenalkan kepada anak). Padahal orangtua punya andil sangat besar menjadi penyebab trend dunia maya di kalangan anak dan remaja. Entah karena alasan ekonomi atau kepentingan lain, orangtua lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah sehingga anak mencari sesuatu yang dapat menemaninya 'membunuh' waktu.

Buku dulu dianggap jendela dunia, anak generasi sekarang menganggap dunia dapat tergenggam dan semungil HP (ini salah satu pendapat peserta diskusi lho...).
Peserta diskusi yang hampir semua merupakan Digital Immigrants ini menelurkan beberapa simpulan yang menarik:

  1. Keberadaan dunia maya selain memiliki dampak negatif juga memiliki sisi positif sebagai salah satu media belajar. Orangtua (dan guru) hendaknya dapat mengarahkan dan mengoptimalkan pemakaian digital world oleh anak karena masa-masa tersebut anak sedang mencari jati diri dan bereksplorasi. Pada masanya anak akan merasa bosan sendiri;
  2. Untuk mengarahkan anak, orangtua (dan guru) perlu mengetahui teknologi dan jika perlu mempelajari sedikit lebih dalam sehingga dapat mengalihkan anak (misalnya dari game online) ke hal-hal (situs-situs) yang lebih positif. Tidak ada salahnya kemudian bergabung menjadi anggota komunitas anak seperti Facebook, Friendster atau blog;
  3. Pengawasan dalam pemakaian teknologi tidak bisa terus menerus dilakukan, cara yang paling baik adalah dengan penanaman moral Imtak secara terus menerus sehingga pada akhirnya anak memiliki self-protection.
Kasus lain yang kemudian muncul, karena akses di dunia maya yang begitu luas dan cepat, menyebabkan aparat kepolisian kemudian diterjunkan ke sekolah-sekolah untuk melakukan razia HP dan ke warnet-warnet untuk melihat 'keamanan' dibalik 'kenyamanan' yang ditawarkan kebanyakan warnet. Walaupun pada awalnya kami anggap penurunan jajaran kepolisian ini adalah "LEBAY" atau berlebihan, sekali lagi hal ini patut disikapi secara bijak;

  1. Dunia maya merupakan salah satu media yang dapat digunakan untuk menyebarkan hal-hal berbau pornografi dan pornoaksi sehingga dianggap sebagai suatu ancaman. Dengan adanya UU tentang pornografi dan pornoaksi, pemerintah menyiapkan jajarannya dengan menyiapkan aparat kepolisian. Para polisi ini dilatih secara profesional dan intensif sehingga memahami benar apa yang harus dilakukan;
  2. Penurunan aparat kepolisian ke sekolah-sekolah dengan seizin kepala sekolah bisa kita anggap sebagai shock therapy untuk para siswa yang menegaskan ada hukum yang harus ditegakkan bila anak menyalahgunakan teknologi;
  3. Pihak sekolah (terutama guru) harus ikut berkembang dengan mempelajari teknologi sehingga tidak menjadi bulan-bulanan anak. Karena pada kenyataannya perkembangan penggunaan teknologi di kalangan pendidik amat sangat lambat dibandingkan dengan kecepatan anak dalam mengakses teknologi;
  4. Menurunkan polisi ke warnet-warnet, selama polisi tadi tahu benar apa yang dilakukannya, bisa kita anggap sebagai membantu orangtua (dan guru) dalam mengawasi penggunaan teknomogi oleh anak di luar rumah dan di luar sekolah.
Akhirnya kesimpulan pribadi saya, sebagai seorang guru dan orangtua, lebih baik kita ciptakan KUALITAS KEBERSAMAAN dengan anak. Kehadiran orangtua, keinginan orangtua untuk memahami dunia anak, penanaman nilai dan norma agama serta merta akan menciptakan sosok anak yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Tanggung jawab itu bisa berupa self-awareness dan self-protection yang akan menciptakan generasi mendatang yang lebih baik.

Comments

pindy said…
Hi Selly. Remember me? :)

Popular Posts