Instead of saying NO...

Hari ini seperti juga hari-hari yang lain. Di ruang tempat berkumpul para pendidik ini terjadi serangkaian rutinitas sosial antar mereka. Sekumpulan sedang diskusi tentang anak didik, sekumpulan lain membolak-balik contoh berkas untuk sertifikasi, sementara yang lain asyik dengan santap siang diselingi dengan obrolan ringan tentang keluarga. Sementara saya yang masih 'euphoria' menjadi digital immigrants sibuk browsing untuk sedikit mencari 'pencerahan' atas banyak pertanyaan selama ini.

Selintas pak Kepsek masuk ke ruangan, sepertinya beliau hendak melakukan briefing. Wajah-wajah di sekitar saya mulai tampak berubah. Ada yang senyum, ada yang tampak sedikit cemas, ada juga yang berkelakar dengan lantang,"SIAP... Beri salam!" seperti biasanya murid pada saat ada guru masuk kelas.

Selanjutnya (walaupun suara pa Kepsek terdengar jelas melalui pengeras suara..) yang disampaikan oleh beliau samar-samar saja saya dengar...

"Jadi.. saya TEGASKAN.. tidak ada seorang gurupun di sekolah ini yang MENJUAL buku dalam bentuk apapun kepada anak didik!"
Saya terkikik... membaca mail berisi joke-joke ringan... Lalu berfikir.. bagaimana ya kalau belajar tanpa buku? Ooh.. ada e-book... tapi bagaimana mengakses dan mencetaknya? Berarti guru harus paham betul teknologi komputer ya...

"HP... tidak diperbolehkan dibawa ke dalam kelas! Pada saat anak masuk lingkungan sekolah, semua HP DISIMPAN dalam loker yang disediakan di dekat gerbang sekolah dan diawasi oleh guru piket!"
"padahal mah ga perlu sampai begitu, ya? cukup peringatkan aja anak jangan bawa HP kamera... soalnya kalo..bla..bla..bla..." sedikit saya mendengar bisik-bisik dari rekan yang duduk di sebelah saya.

"Tip-Ex tidak diperbolehkan untuk dimiliki siswa! Jadi jika Bapak dan Ibu melihat ada siswa yang membawa Tip-ex, DISITA saja..."
Waduh.. sampai Tip-ex penghapus itu juga penting banget dibicarakan??

Selebihnya saya kurang mendengar (apalagi memahami) apa yang kemudian disampaikan oleh beliau. Saya lalu sibuk dengan pikiran saya sendiri. Saya akhirnya memahami kenapa anak-anak merasa sangat terkekang, bak hidup dalam penjara jika masuk ke lingkungan sekolah. Sekolah yang seharusnya memberi kenyamanan pada anak, menjadikannya mudah dalam menyerap ilmu dan menciptakan generasi yang bermoral tinggi.

Pada dasarnya setiap anak diciptakan dengan fitrah yang baik. Lingkungan dimana ia dibesarkan ikut mempengaruhi dalam perjalanan seorang anak menjadi dewasa. Jika pada usia rentan anak sudah merasa terkekang, suatu saat akan terjadi pemberontakan dalam bentuk pelanggaran terhadap 'aturan' yang ada. Jika terus terjadi seperti ini, mereka akan menganggap pelanggaran sebagai aktualisasi diri, protes dan sesuatu yang 'perlu' dilakukan. Akhirnya terjadilah "adanya aturan adalah untuk dilanggar".

Instead of saying NO why don't we try to explain about IF and THAT WILL...

Apa yang sebenarnya yang ditakutkan para orangtua dengan anak yang membawa HP dengan fitur lengkap disertai kamera? PORNOGRAFI.. Kita para orangtua seringkali naif dengan menganggap setiap HP kamera akan mengakses gambar (bahkan film) yang tidak senonoh. Padahal, pelarangan hanya akan membuat mereka makin penasaran. Sebaiknya tanamkan moral melalui IMTAK secara terus menerus (karena anak lebih mudah memahami dibanding orangtua) agar anak akhirnya memiliki SELF PROTECTION terhadap apa yang belum (dan tidak) boleh mereka lakukan.
Apakah kemudian tidak terfikirkan oleh kita, dengan menggenggam HP yang terhubung dengan internet, bahan pembelajaran setidak menarik apapun akan menjadi lebih menarik dan mudah dicerna oleh anak? Berikan pengertian dan TANGGUNGJAWAB moral kepada anak jika mereka mengakses hal-hal yang tidak baik akan menjadikan mereka generasi yang kurang baik pula dan berpengaruh terhadap pencapaian cita-cita mereka.

Penciptaan Tip-ex untuk menghapus secara rapi kesalahan penulisan dengan ballpoint memang seringkali disalahgunakan dengan digoreskannya di tempat lain seperti meja, kursi bahkan di tembok. Jika kita mau berbaik sangka, pelarangan membawa Tip-ex ini akan membuat anak lebih berhati-hati dengan tidak membuat kesalahan yang akhirnya harus dihapus. Namun tetap saja jika tidak secara bijak cara menyampaikannya, coret moret dengan tip-ex malah akan menjadi ajang pemberontakan tadi.

Sekali lagi... sampaikan pengertian.. IF you do that, THAT WILL...
sekarang pertanyaannya adalah, apakah perlu seorang psikolog untuk menyampaikannya? atau cukup seorang guru yang bijak dan dicintai anak-anak yang dapat MENGGUGAH rasa sayang terhadap diri sendiri dan rasa memiliki semua yang ada di sekolah?

Comments

Popular Posts