Chapter 7 - Mengulangi Kajoetangan Setelah Soto Lamongan

Villa Tawang Sari
Pagi yang baru. Hari Senin. Kami kembali mengabadikan pemandangan indah di depan kamar kami—pagi yang tak pernah membosankan. Hari ini, kami memutuskan berjalan mengelilingi rumah, menikmati suasana dan pohon-pohon rindang: durian, tangkil, kelapa, jeruk, dan bougenville yang sedang berbunga. Kami sempat membuat video pendek dan mengambil beberapa foto terbaik sebagai kenangan di Villa Tawang Sari, nama tempat tinggal kawan saya ini.

Menu sarapan hari ini adalah tahu telur, makanan khas Malang yang dulu sering saya beli saat masih kuliah. Potongan tahu yang digoreng bersama telur, ditambah taoge, lalu disiram bumbu kacang dengan aroma bawang putih yang kuat, dan ditaburi daun bawang—sungguh menggugah selera. Karbohidratnya berasal dari potongan lontong. Kombinasi yang sempurna untuk memulai hari.

Siang harinya, saya ingin mengunjungi tempat makan soto Lamongan favorit saya semasa kuliah, yang berada di sekitar Oro-Oro Dowo. Kemarin saya sempat melewatinya, dan lokasinya masih sama. Karena kami baru akan ke sana untuk makan siang, pagi ini kami menyempatkan diri ke tempat lain terlebih dahulu: Kebun Teh Wonosari, bagian dari Arjuna Geopark.

 

Kebun teh milik PTPN XII ini berada di kawasan Gunung Arjuna. Tiket masuknya Rp25.000 per orang, ditambah parkir Rp5.000. Di dalamnya tersedia berbagai spot foto dengan biaya tambahan Rp5.000 per orang. Tempat ini tidak terlalu jauh dari rumah kawan saya—bahkan besannya tinggal di kawasan tersebut. Jalan menuju ke sana khas pegunungan: menanjak dan berliku tajam.

Lagi-lagi, tempat ini sangat memanjakan kami yang hobi berfoto. Berbagai sudut dibuat seindah mungkin agar hasil foto tampak epik. Ada "Pintu Langit", tangan raksasa, ayunan di ketinggian, balon udara, motor dan mobil antik, sepeda, serta tentu saja, lanskap alam yang hijau dan menyegarkan. Tiket masuk sudah termasuk satu minuman gratis: kami bisa memilih kopi, teh, atau minuman jahe. Kami duduk santai, menikmati angin dingin yang sepoi-sepoi sambil menyeruput minuman pilihan masing-masing. Langit tampak tidak semendung kemarin, harapan kami dapat mengeksplorasi kampung heritage kayu tangan sangat besar hari ini.

Sudut antara Gramedia dan Toko Oen
Masuk kota Malang seperti biasa disambut dengan kemacetan. Awan mendung mulai menggantung, dan kami hanya bisa berharap agar tidak gagal lagi menjelajah Kayutangan. Tiba-tiba, saya menerima pesan dari seorang teman kuliah—yang terakhir saya temui saat wisuda dulu. Kami berjanji akan bertemu di warung soto Lamongan tujuan saya.

Kami sampai lebih dulu dan langsung memesan.
Rasanya? Masih sama seperti dulu. Taburan bawang putih goreng yang sedikit gosong memberi aroma khas pada soto ayam gurih yang mengguyur nasi hangat. Jika bukan karena ada destinasi lain yang akan kami kunjungi, saya pasti ingin tambah satu porsi lagi.

Soto Ayam Lamongan

Tak lama, teman kuliah saya datang. Ia ikut makan dan obrolan pun mengalir ringan. Tentu saja, tentang Malang dan segala kenangan yang melekat padanya. Ia bahkan membayari seluruh pesanan kami siang itu. Waktu salat Dzuhur tiba. Ia harus bertemu klien, sementara kami akan melanjutkan eksplorasi kota Malang.

Kami mencari masjid untuk salat, dan meski awalnya ingin ke Masjid Agung Malang, karena aksesnya agak memutar, kami memutuskan singgah di masjid yang kami lewati saja. jalan yang berputar-putar satu arah ini memang sudah menjadi ciri khas kota Malang sejak dulu. Jalannya kendaraan menjadi lebih teratur dan tidak kenal macet. Tapi itu dulu. Sekarang, ditambah dengan libur panjang seperti ini, kepadatan jalan raya luar biasa di semua lajur.

Setelahnya, saya ingin ke Gramedia. Tempat yang dulu selalu saya kunjungi untuk melihat buku-buku baru. Kami memang tidak selalu membeli buku langsung dari sana, karena saat itu kami berlangganan taman bacaan yang menyewakan buku—terutama novel—selama tiga hari hingga satu minggu. Tempat persewaan ini letaknya dekat kampus, jalan Dinoyo ke arah Sumber Sari. Seperti yang sudah saya perkirakan, tempat persewaan itu sudah tidak ada. Gramedia yang saya kunjungi kini memiliki tiga lantai. Fariz bilang tempat ini baru selesai renovasi. Buku yang saya cari adalah karya Spencer Johnson: Who Moved My Cheese?

Melihat deretan buku yang tertata rapi membuat keinginan untuk memborong semuanya membuncah. Namun, harga buku di Indonesia memang relatif mahal dibandingkan harga buku di luar negeri. Jika saja buku-buku resmi lebih terjangkau, mungkin tingkat literasi kita bisa meningkat lebih cepat. Katanya harga buku mahal karena harga kertas kita mahal. Padahal negeri ini gemah ripah loh jinawi, bahkan bertanam tongkat bisa jadi singkong. Kali ini saya cukup beruntung—saya menemukan buku yang saya cari, dalam versi hard cover berwarna kuning, warna favorit saya. Buku itu langsung masuk ke daftar bacaan saya berikutnya. Sedikit tentang buku ini, menceritakan bagaimana 2 ekor tikus dan 2 kurcaci yang tinggal dalam labirin berusaha mencari cheese yang mereka sukai. Fabel sederhana ini disebut mampu membantu jutaan oranng dalam menghadapi perubahan dalam hidupnya.

Hujan yang sempat turun akhirnya reda. Tanpa membuang waktu, kami segera meluncur menuju Kayutangan—destinasi utama kami hari itu.

Dengan tarif masuk Rp5.000 per orang, kampung heritage ini dikelola secara swadaya. Bentukannya masih seperti kampung biasa, dengan rumah-rumah rapat dan jalan yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Dulu, saat saya masih kuliah, kendaraan bermotor dilarang menyalakan mesin saat masuk gang. Kini, motor boleh lalu-lalang, mungkin karena suara mesinnya sudah jauh lebih halus.

Yang membedakan Kayutangan dengan kampung lain adalah rumah-rumah bergaya lawas yang kini banyak dijadikan tempat usaha: kafe, penjual makanan, hingga toko cendera mata. Sebuah kanal membelah kampung ini. Di dekatnya, ada kios es krim yang katanya sangat enak, tapi sayangnya belum buka saat kami lewat.

Kami juga melewati makam Mbah Honggo Kusumo—orang pertama yang menetap di kawasan ini. Kami sempat mencicipi es taloen di salah satu gerbang masuk, dan menikmati bakso yang hangat. Setiap sudut di Kayutangan layak dijadikan latar berfoto.

Sore itu, setelah puas berkeliling, kami duduk-duduk santai di bangku di pinggir jalan yang disediakan untuk pengunjung. Angin sore, udara pascahujan, dan suasana damai membuat kami enggan beranjak. Sebelum pulang, kami membeli es krim potong rasa durian yang mantap, serta kue lumpur mini untuk dibawa pulang.

                 

 

Comments

Popular Posts