Chapter 7 - Mengulangi Kajoetangan Setelah Soto Lamongan
![]() |
Villa Tawang Sari |
Menu sarapan hari ini
adalah tahu telur, makanan khas Malang yang dulu sering saya beli saat masih
kuliah. Potongan tahu yang digoreng bersama telur, ditambah taoge, lalu disiram
bumbu kacang dengan aroma bawang putih yang kuat, dan ditaburi daun bawang—sungguh
menggugah selera. Karbohidratnya berasal dari potongan lontong. Kombinasi yang
sempurna untuk memulai hari.
Siang harinya, saya
ingin mengunjungi tempat makan soto Lamongan favorit saya semasa kuliah, yang
berada di sekitar Oro-Oro Dowo. Kemarin saya sempat melewatinya, dan lokasinya
masih sama. Karena kami baru akan ke sana untuk makan siang, pagi ini kami menyempatkan
diri ke tempat lain terlebih dahulu: Kebun Teh Wonosari, bagian dari Arjuna
Geopark.
![]() |
Sudut antara Gramedia dan Toko Oen |
Kami sampai lebih dulu dan langsung memesan.
Rasanya? Masih sama seperti dulu. Taburan bawang putih goreng yang sedikit gosong memberi aroma khas pada soto ayam gurih yang mengguyur nasi hangat. Jika bukan karena ada destinasi lain yang akan kami kunjungi, saya pasti ingin tambah satu porsi lagi.
![]() |
Soto Ayam Lamongan |
Tak lama, teman kuliah saya datang. Ia ikut makan dan obrolan pun mengalir ringan. Tentu saja, tentang Malang dan segala kenangan yang melekat padanya. Ia bahkan membayari seluruh pesanan kami siang itu. Waktu salat Dzuhur tiba. Ia harus bertemu klien, sementara kami akan melanjutkan eksplorasi kota Malang.
Kami mencari masjid untuk salat, dan meski awalnya ingin ke Masjid Agung Malang, karena aksesnya agak memutar, kami memutuskan singgah di masjid yang kami lewati saja. jalan yang berputar-putar satu arah ini memang sudah menjadi ciri khas kota Malang sejak dulu. Jalannya kendaraan menjadi lebih teratur dan tidak kenal macet. Tapi itu dulu. Sekarang, ditambah dengan libur panjang seperti ini, kepadatan jalan raya luar biasa di semua lajur.
Setelahnya, saya ingin
ke Gramedia. Tempat yang dulu selalu saya kunjungi untuk melihat buku-buku
baru. Kami memang tidak selalu membeli buku langsung dari sana, karena saat itu
kami berlangganan taman bacaan yang menyewakan buku—terutama novel—selama tiga
hari hingga satu minggu. Tempat persewaan ini letaknya dekat kampus, jalan Dinoyo ke arah Sumber Sari. Seperti yang sudah saya perkirakan, tempat persewaan itu sudah tidak ada. Gramedia yang saya kunjungi kini memiliki tiga lantai. Fariz bilang tempat ini baru selesai renovasi. Buku yang saya
cari adalah karya Spencer Johnson: Who Moved My Cheese?
Melihat deretan buku
yang tertata rapi membuat keinginan untuk memborong semuanya membuncah. Namun,
harga buku di Indonesia memang relatif mahal dibandingkan harga buku di luar
negeri. Jika saja buku-buku resmi lebih terjangkau, mungkin tingkat literasi kita
bisa meningkat lebih cepat. Katanya harga buku mahal karena harga kertas kita mahal. Padahal negeri ini gemah ripah loh jinawi, bahkan bertanam tongkat bisa jadi singkong. Kali ini saya cukup beruntung—saya menemukan
buku yang saya cari, dalam versi hard cover berwarna kuning, warna favorit
saya. Buku itu langsung masuk ke daftar bacaan saya berikutnya. Sedikit tentang buku ini, menceritakan bagaimana 2 ekor tikus dan 2 kurcaci yang tinggal dalam labirin berusaha mencari cheese yang mereka sukai. Fabel sederhana ini disebut mampu membantu jutaan oranng dalam menghadapi perubahan dalam hidupnya.
Hujan yang sempat turun akhirnya reda. Tanpa membuang waktu, kami segera meluncur menuju Kayutangan—destinasi utama kami hari itu.
Dengan tarif masuk Rp5.000 per orang, kampung heritage ini dikelola secara swadaya. Bentukannya masih seperti kampung biasa, dengan rumah-rumah rapat dan jalan yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Dulu, saat saya masih kuliah, kendaraan bermotor dilarang menyalakan mesin saat masuk gang. Kini, motor boleh lalu-lalang, mungkin karena suara mesinnya sudah jauh lebih halus.
Yang membedakan Kayutangan dengan kampung lain adalah rumah-rumah bergaya lawas yang kini banyak dijadikan tempat usaha: kafe, penjual makanan, hingga toko cendera mata. Sebuah kanal membelah kampung ini. Di dekatnya, ada kios es krim yang katanya sangat enak, tapi sayangnya belum buka saat kami lewat.Kami juga melewati
makam Mbah Honggo Kusumo—orang pertama yang menetap di kawasan ini. Kami sempat
mencicipi es taloen di salah satu gerbang masuk, dan menikmati bakso yang
hangat. Setiap sudut di Kayutangan layak dijadikan latar berfoto.
Sore itu, setelah puas
berkeliling, kami duduk-duduk santai di bangku di pinggir jalan yang disediakan
untuk pengunjung. Angin sore, udara pascahujan, dan suasana damai membuat kami
enggan beranjak. Sebelum pulang, kami membeli es krim potong rasa durian yang
mantap, serta kue lumpur mini untuk dibawa pulang.



Comments