Chapter 1 - Malang, Perjalanan yang (Selalu) Ditunda
Kenapa kota Malang? Karena 34 tahun yang lalu, dengan penuh kesadaran, saya datang ke kota ini membawa segudang harapan—harapan untuk menjadi lebih mandiri dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kota yang saat itu baru saya temukan di peta seminggu sebelum keberangkatan. Kota yang sebelumnya asing, namun kemudian menjadi tempat untuk kembali—kembali menyusuri kenangan yang mendewasakan.
Tahun 1991, saya dinyatakan diterima di
Universitas Brawijaya. Keinginan merantau ke tempat baru begitu
menggelora—melihat sepotong dunia lain yang berbeda. Meski seminggu kemudian
saya sempat berurai air mata, ingin kembali ke tempat yang selama ini menenangkan:
dekat dengan ayah, ibu, dan saudara. Namun, semangat dan sedikit rasa tanggung
jawab membuat saya bertahan hingga tahun 1996, saat saya berhasil membawa
pulang selembar ijazah sarjana.
Sejak tahun itu, kota Malang terasa semakin
jauh dari jangkauan. Udara dinginnya dan aroma khas kampus yang melekat di
ingatan seolah tertutup oleh kesibukan menjadi istri, menjadi ibu, dan
pekerjaan yang menyita seluruh waktu yang saya miliki.
Akhirnya, pada 2017, saya mendapat rezeki
untuk mengikuti pelatihan menulis di kota Batu. Pelatihan selama tiga hari saya
tambah dengan cuti beberapa hari demi sengaja napak tilas, diantar oleh kawan
rasa saudara yang tinggal di Lawang—sebuah kecamatan di Kabupaten Malang,
tempat asal suaminya. Cerita tentang kawan ini, dia adalah teman sebangku saya
semasa SMA. Sebagian besar kisah remaja saya lewati bersamanya. Susah, senang,
sedih, semua pernah kami rasakan berdua. Saya yang jahil, dia yang pendiam. Saya
yang acak-acakan, dia yang tertata. Kami pernah tertawa bersama, berbagi sedih,
dan bertukar cerita—belahan jiwa yang saya temukan: Naya.
Comments