Chapter 3 - Rindu yang Terbayar

Sambil menunggu kawan saya datang, saya sempat mengabadikan kemegahan Hotel Niagara yang tampak sangat cantik di pagi hari. Waktu menunjukkan pukul 05.30, namun suasana sudah cerah, mempertegas lekuk bangunan hotel yang anggun. Saya memang penyuka segala sesuatu yang klasik dan antik.

Hotel Niagara
Tak lama kemudian, kawan saya datang bersama anak dan cucunya—seorang manusia mungil yang gemuk, dengan wajah sangat mirip ayahnya. Saya langsung teringat masa ketika kami berdua baru memiliki anak pertama yang lahir di tahun yang sama. Anak saya perempuan, anaknya laki-laki. “Hallo, Nini. Ini Azky,” katanya sambil menggoyang-goyangkan tangan si bayi berusia tujuh bulan di pangkuannya. Ya Allah, kami kini sudah punya cucu! Bahagia sekali rasanya melihat sepasang mata mungil menatap penuh rasa ingin tahu dari bangku depan ke arah saya yang duduk di belakang.

Setiba di rumahnya yang bergaya klasik, ia menyerahkan Azky kepada ibunya, dan kami pun langsung berpelukan. Pelukan yang meluruhkan rasa rindu setelah bertahun-tahun tidak berjumpa. Kami segera larut dalam percakapan, dan saya memberikan oleh-oleh pesanannya: gemblong dan roti gambang khas Bogor. Secangkir teh panas dan sepiring ubi goreng menjadi saksi hangatnya pagi itu, ketika kami mulai merencanakan tujuan pertama hari ini: tentu saja, kampus UB!

Setelah mandi dan menyegarkan diri, saya kira ubi goreng adalah menu sarapan pagi itu. Ternyata, masih ada kejutan lain. Teman saya memang piawai memasak dan membuat kue. Ia menyajikan puding karamel dengan rasa pahit karamel yang pas—sempurna bagi penyuka kopi seperti saya. Satu, dua, tiga sendok besar langsung habis masuk perut. Kalau saja kami tidak merencanakan mampir ke warung Asih dekat Stasiun Lawang untuk menyantap krengsengan khas Malang, saya pasti akan tambah lagi.

krengsengan daging
Krengsengan daging di warung Asih adalah favorit kawan saya. Seperti yang saya duga, rasanya luar biasa. Makanan khas Jawa Timur memang cenderung asin dan gurih—sangat cocok dengan lidah Sunda saya. Satu piring nasi dengan krengsengan habis tak bersisa. Teh hangat rasa vanila yang menyertainya membawa saya kembali ke kenangan masa lalu. Menariknya, di Jawa Timur jika kita memesan teh, pasti manis. Berbeda dengan di Jawa Barat, jika memesan teh hangat, hasilnya tawar. Kalau ingin teh manis, harus spesifik menyebutkan ‘manis’-nya. Sebuah perbedaan kecil yang membuat saya tersenyum.

Karena ini masa liburan panjang, suami teman saya, Mas Didik, memperkirakan akan ada kemacetan parah di kota Malang. Maka, kami sepakat untuk berangkat agak sore. Sebelum itu, kami mampir ke apotek untuk membeli amlodipine 5 mg karena kebetulan persediaan saya habis, lalu singgah ke sebuah tempat untuk memesan kaus reuni suami teman saya. Tak jauh dari sana, ada toko Teh Naga—merk teh hitam khas Malang yang aromanya khas vanila. Saya dibelikan sekotak teh sebagai oleh-oleh. Saya juga membeli kue kecil khas Tulungagung bernama kue kecik, terbuat dari tepung ketan, yang ternyata cocok sebagai teman minum kopi.

Saya dan Naya
Kami pun menyusul Mas Didik ke tempat pemesanan kaus. Saat menunggu, muncul ide untuk membuat kaus kembar seperti dulu—warna sama, gambar personal. Karena sekarang bisa desain sendiri, kami minta bantuan AI untuk mengubah foto kami menjadi gambar kartun, bukan gaya Ghibli. Disepakati, gambar diletakkan di bagian belakang kaus, sementara bagian depan dihiasi hobi masing-masing: milik saya bergambar benang dan jarum rajut, milik teman saya bergambar cupcake.

Kami sempat tertawa-tawa saat memilih ukuran kaus. Saya yang percaya diri dengan ukuran XL akhirnya harus mengalah memilih XXL, sedangkan kawan saya ingin yang lebih longgar ukuran XXXL!

Puas dengan pesanan kaus yang akan selesai esok hari, kami pulang untuk beristirahat. Saya akhirnya berjumpa dengan anak-anak lelaki kawan saya: Byan, si sulung, sudah menikah dengan Dini; Danang, anak ketiga, tahun depan insya Allah lulus dari Universitas Negeri Malang; dan Fariz, si bungsu, baru lulus SMK. Adit, anak kedua, kebetulan sedang tidak di rumah karena bekerja di Mataram. Anak-anak yang saleh dan tutur katanya halus seperti ayahnya. Teman saya yang dulu pendiam, kini menjadi yang paling cerewet di antara mereka. 

Comments

Popular Posts