Chapter 2 - Hari Keberangkatan

Tanpa terasa, waktu keberangkatan ke Malang akhirnya tiba. Saya sudah memesan tiket sejak tiga minggu sebelumnya karena tanggal keberangkatan yang saya pilih bertepatan dengan libur panjang—tanggal merah ditambah cuti bersama. Saya berangkat pada Jumat sore, tanggal 9, dan pulang pada Selasa sore, tanggal 13. Transportasi yang saya pilih adalah bus, seperti dulu ketika saya sering bepergian menggunakan armada ini. Kali ini saya memilih bus jenis sleeper untuk memaksimalkan waktu istirahat, menyesuaikan dengan kondisi fisik yang sudah tidak muda lagi. Bus yang saya pilih adalah Agra Mas, karena titik naik dan turunnya berada di terminal yang dekat dengan rumah saya.

Hujan deras mengiringi kepergian saya. Jendela bus sengaja saya buka karena tidak ingin kehilangan sensasi perjalanan kali ini. Terminal-terminal yang rapi dan tertata membuat saya malu jika membandingkannya dengan terminal Bubulak yang penuh kubangan, sehingga penumpang yang masuk bus bisa berayun hingga 30 derajat. Saya sempat melewati Terminal Jatijajar-Depok dan Terminal Pulo Gebang yang tampak futuristik. Bus-bus yang keluar masuk berjajar rapi, mengangkut penumpang dengan tertib—pemandangan yang menyenangkan hati. Terminal yang bersih tanpa sampah dan bau pesing saya rasakan sendiri karena sempat turun dan mencoba toiletnya.

Seperti yang saya duga, perjalanan menggunakan bus sleeper benar-benar memberikan kenyamanan maksimal. Sebelum naik, alas kaki diganti dengan sandal tipis seperti yang biasa tersedia di hotel. Saya memilih kabin bawah paling depan, tepat di belakang sopir. Kabinnya berupa bilik-bilik tertutup tirai hitam yang menjaga privasi penumpang. Total ada 22 kabin dalam bus ini: 11 di bawah dan 11 di atas, serta satu toilet.

Saya sempat mencoba toilet dalam bus karena tak tahan menunggu hingga tempat istirahat. Meski goyangan bus cukup kuat, dengan tekad dan pegangan yang erat, saya berhasil menggunakannya—haha!

Posisi tubuh dalam kabin memungkinkan kaki lurus sepenuhnya, dengan sandaran yang bisa dimiringkan hingga 135 derajat. Bantal kecil sebagai fasilitas tambahan cukup membantu punggung saya yang bermasalah, meski akibatnya kepala tidak tersangga dengan baik. Dalam hati saya bertekad membeli bantal leher untuk perjalanan pulang nanti.

Selepas Bekasi, terdengar suara dari kabin pengemudi yang menjelaskan bahwa perjalanan Jakarta–Malang akan ditempuh selama 12 jam, lengkap dengan informasi mengenai tempat istirahat. Di rest area Ciganea, kami berhenti untuk mengambil paket makan malam berupa nasi dan ayam. Nasi hangat dan sepotong ayam yang akrab di lidah terasa begitu nikmat—perut lapar memang membuat segalanya terasa lebih lezat. Sarung tangan plastik baru saya temukan setelah makan habis! Untungnya saya sempat membeli tisu basah yang sangat membantu dalam perjalanan seperti ini.

Saat saya melamun memandangi senja yang perlahan berubah menjadi malam di luar jendela, tiba-tiba terdengar bisikan cukup keras dari kursi belakang. Setelah mendengarkan lebih seksama, rupanya penumpang di belakang saya sedang melaksanakan salat. Saya pun ingin salat, tapi memutuskan untuk menunaikannya di tempat istirahat nanti saja.

Kami berhenti di daerah Weleri. Di sana tersedia nasi goreng, namun karena nafsu makan saya sudah menurun, saya hanya memesan teh manis. Saya juga meminta tethering ke karyawan rumah makan karena kuota pascabayar saya habis. Sayang sekali, baik di bus maupun di tempat makan tidak tersedia Wi-Fi.

Ketika saya bangun lagi, ternyata sudah sampai di Surabaya, sekitar pukul empat pagi. Saya segera mengecek WhatsApp—benar saja, kawan saya sudah menanyakan keberadaan saya. Untung kuota sudah kembali aktif, meski kini masalahnya adalah sinyal. Semoga sinyal lancar agar komunikasi kami tetap berjalan. “Sampai tol Purwodadi, nyalakan shareloc live, ya,” begitu isi WA-nya. Saya langsung menjawab, “OK.”

Bahkan sebelum sampai tol Purwodadi, saya sudah menyalakan shareloc live. Tapi, seperti sebelumnya, sinyal kembali bermasalah. Saya hanya bisa pasrah. Untungnya, tempat saya turun tidak jauh dari rumah kawan saya. Menurutnya, shareloc saya sempat berhenti cukup lama. Akhirnya, saya menelepon dia karena sudah turun dari bus—tepat di depan Hotel Niagara Lawang yang megah dan misterius, dan yang selalu berhasil membangkitkan rindu.

Lawang, Malang—saya datang! 

Comments

Popular Posts