Chapter 2 - Hari Keberangkatan
Hujan deras mengiringi kepergian saya. Jendela bus sengaja saya buka karena tidak ingin kehilangan sensasi perjalanan kali ini. Terminal-terminal yang rapi dan tertata membuat saya malu jika membandingkannya dengan terminal Bubulak yang penuh kubangan, sehingga penumpang yang masuk bus bisa berayun hingga 30 derajat. Saya sempat melewati Terminal Jatijajar-Depok dan Terminal Pulo Gebang yang tampak futuristik. Bus-bus yang keluar masuk berjajar rapi, mengangkut penumpang dengan tertib—pemandangan yang menyenangkan hati. Terminal yang bersih tanpa sampah dan bau pesing saya rasakan sendiri karena sempat turun dan mencoba toiletnya.
Seperti yang saya duga, perjalanan menggunakan bus sleeper benar-benar memberikan kenyamanan maksimal. Sebelum naik, alas kaki diganti dengan sandal tipis seperti yang biasa tersedia di hotel. Saya memilih kabin bawah paling depan, tepat di belakang sopir. Kabinnya berupa bilik-bilik tertutup tirai hitam yang menjaga privasi penumpang. Total ada 22 kabin dalam bus ini: 11 di bawah dan 11 di atas, serta satu toilet.
Saya sempat mencoba toilet dalam bus karena tak tahan menunggu hingga tempat istirahat. Meski goyangan bus cukup kuat, dengan tekad dan pegangan yang erat, saya berhasil menggunakannya—haha!
Posisi tubuh dalam
kabin memungkinkan kaki lurus sepenuhnya, dengan sandaran yang bisa dimiringkan
hingga 135 derajat. Bantal kecil sebagai fasilitas tambahan cukup membantu
punggung saya yang bermasalah, meski akibatnya kepala tidak tersangga dengan
baik. Dalam hati saya bertekad membeli bantal leher untuk perjalanan pulang
nanti.
Selepas Bekasi,
terdengar suara dari kabin pengemudi yang menjelaskan bahwa perjalanan
Jakarta–Malang akan ditempuh selama 12 jam, lengkap dengan informasi mengenai
tempat istirahat. Di rest area Ciganea, kami berhenti untuk mengambil paket
makan malam berupa nasi dan ayam. Nasi hangat dan sepotong ayam yang akrab di
lidah terasa begitu nikmat—perut lapar memang membuat segalanya terasa lebih
lezat. Sarung tangan plastik baru saya temukan setelah makan habis! Untungnya
saya sempat membeli tisu basah yang sangat membantu dalam perjalanan seperti
ini.
Kami berhenti di
daerah Weleri. Di sana tersedia nasi goreng, namun karena nafsu makan saya
sudah menurun, saya hanya memesan teh manis. Saya juga meminta tethering ke
karyawan rumah makan karena kuota pascabayar saya habis. Sayang sekali, baik di
bus maupun di tempat makan tidak tersedia Wi-Fi.
Ketika saya bangun
lagi, ternyata sudah sampai di Surabaya, sekitar pukul empat pagi. Saya segera
mengecek WhatsApp—benar saja, kawan saya sudah menanyakan keberadaan saya.
Untung kuota sudah kembali aktif, meski kini masalahnya adalah sinyal. Semoga
sinyal lancar agar komunikasi kami tetap berjalan. “Sampai tol Purwodadi,
nyalakan shareloc live, ya,” begitu isi WA-nya. Saya langsung menjawab, “OK.”
Bahkan sebelum sampai
tol Purwodadi, saya sudah menyalakan shareloc live. Tapi, seperti sebelumnya,
sinyal kembali bermasalah. Saya hanya bisa pasrah. Untungnya, tempat saya turun
tidak jauh dari rumah kawan saya. Menurutnya, shareloc saya sempat berhenti
cukup lama. Akhirnya, saya menelepon dia karena sudah turun dari bus—tepat di
depan Hotel Niagara Lawang yang megah dan misterius, dan yang selalu berhasil
membangkitkan rindu.
Lawang, Malang—saya datang!
Comments