chapter 6 - Tidak Lengkap Malang tanpa Batu

Setelah Mak Tarie datang, rasanya perjalanan ini menjadi lengkap. Saya dikelilingi orang-orang tersayang. Tujuan hari itu adalah ke arah atas kota Malang: Batu.

Sebelumnya, kami mampir ke sebuah tempat di Karangploso—sebuah lokasi yang menyuguhkan petak sawah, kolam bermain, serta aneka makanan dan minuman yang menggoda. Di tempat bernama NK CafĂ© and Resto ini, kami ngobrol, tertawa-tawa, dan berbagi cerita seolah dunia hanya milik kami bertiga. Kebahagiaan sederhana yang sulit dicari, namun begitu menghangatkan.

Sambil menikmati tahu petis dan risoles, kami menyeruput segelas mocktail, kelapa muda, dan strawberry smoothies pilihan kami. Tentu saja, sebelum melanjutkan perjalanan, kami berfoto! Pemandangan sawah yang mulai jarang ditemui di kota menjadi latar foto yang menarik. Bahkan, saya sempat melihat beberapa batang pohon pisang yang buahnya sudah menjuntai rendah—seolah menyambut kami dengan senyum.

   
Dari Karangploso, hanya beberapa kilometer lagi menuju kota Batu. Kami lanjut tancap gas, melewati jalan yang berkelok naik, lalu terjebak macet saat mulai masuk kota. Libur panjang memang dimanfaatkan banyak orang untuk berwisata. Saat melintasi alun-alun kota Batu, kami hanya bisa melihat keramaian dari dalam mobil—semua tempat parkir penuh. Meski begitu, melihat orang-orang bersuka cita menikmati arena bermain berbentuk buah-buahan yang berwarna-warni sudah cukup membahagiakan. Kadang, menjadi penonton kebaha...

Karena alun-alun terlalu padat, kami putuskan langsung makan siang. Tempat makan yang kami tuju ternyata sangat ramai, tapi rezeki anak saleh, kami mendapat satu-satunya meja kosong—nomor 15. Meja itu terletak di samping kolam ikan yang dipenuhi ikan-ikan besar berwarna cantik.

Melihat ikan-ikan yang tampak jinak itu, Mak Tarie segera membeli makanan ikan seharga Rp5.000 per plastik kecil. Begitu kami mendekat ke kolam, ikan-ikan itu langsung berdatangan dan berebut makanan. Gerakan mereka begitu lincah hingga air kolam terciprat mengenai kami. Kami hanya bisa tertawa dan terus memberi makan mereka. Sungguh suasana yang sejuk dan menyenangkan.

Menu makan siang kami hari itu sangat menggugah selera: ikan gurame bakar, cumi goreng, onion ring, udang asam manis, dan karedok! Ya, karedok—makanan khas Jawa Barat berupa sayuran mentah yang disiram bumbu kacang. Teman saya terkejut sekaligus senang bisa menikmati hidangan yang sudah lama tidak ia temui. Minumnya? Es teh manis, tentu saja. Nasinya yang harum dan pulen membuat selera makan saya meningkat dua kali lipat. Hari itu, saya makan dengan lahap—bahkan sampai bulir nasi terakhir, saya habiskan berbagi dengan anak bungsu kawanku yang ikut mengawal kami. Nama tempat makannya bisa dicari di google maps dengan nama Warung Bamboe Lesehan Sidomulyo.

Hari masih belum terlalu sore. Kami pun ingin menyempatkan mengunjungi Kayutangan Heritage—sebuah kawasan kampung tua di kota Malang yang dikembangkan sebagai destinasi wisata sejarah dan kuliner. Sayangnya, cuaca tidak mendukung. Langit mulai menghitam begitu kami keluar dari tempat makan. Ketika kami melewati alun-alun kota Batu, hujan turun dengan derasnya. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh, namun wajah mereka tetap tersenyum. Bahkan dalam hujan pun, manusia masih bisa menemukan kebahagiaan.

Setibanya di kawasan Kayutangan, bukan hanya hujan yang jadi tantangan, tapi juga parkir yang kembali jadi masalah. Akhirnya, Mas Udin—supir kami—memutuskan untuk menurunkan kami terlebih dahulu, lalu mencari tempat parkir sambil berkeliling.

Dengan sweater hijau bertuliskan “Universitas Brawijaya” yang saya beli kemarin, saya melangkah menembus hujan menuju Soma Coffee. Kafe yang buka mulai pukul 14.00 hingga 23.30 ini menyajikan siomay, pisang goreng bertabur gula aren, dan kopi arabika dengan sentuhan rasa jeruk. Suasana klasik, makanan enak, udara sejuk dan basah karena hujan—semuanya berpadu menciptakan sore yang akan selalu lekat dalam ingatan.

Kami duduk sambil menikmati percakapan hangat antara teman saya dan anaknya. Sungguh menenangkan.

Menjelang malam, hujan belum juga reda. Kami pun memutuskan akan kembali ke Kayutangan keesokan harinya, berharap cuaca lebih bersahabat. Dalam perjalanan pulang, saya sempat membeli sebuah bantal leher—yang pasti akan sangat berguna untuk perjalanan pulang nanti.

Comments

Popular Posts